ANAK sebagai pelaku kejahatan maupun kekerasan akhir-akhir ini menjadi trending topic di media sosial. Praktisi Hukum Keluarga Rosalita Chandra, S.H., M.H. menjelaskan perspektif hukum terhadap kasus kekerasan yang melibatkan anak.
Peristiwa bullying yang melibatkan anak sebagai pelaku dan korban masih marak terjadi di lingkungan sekolah. Kasus penembakan siswa SMK di Semarang oleh oknum polisi juga menjadi perhatian masyarakat.
Namun yang paling tragis adalah peristiwa baru-baru ini yaitu seorang anak usia 14 tahun yang diduga menusuk ayah dan neneknya hingga tewas, serta melukai ibunya sendiri.
Semua peristiwa di atas melibatkan anak sebagai pelaku maupun korban kekerasan.
“Secara hukum, kita patut menganalisis peristiwa tersebut dari sisi kriminologi, viktimologi dan hukum pidana,” ujar Rosalita kepada ChanelMuslim.com melalui surat elektronik, Rabu (4/12/2024).
Terutama untuk menjawab dua pertanyaan besar mengenai mengapa bisa terjadi kekerasan yang melibatkan anak, bagaimana proses rehabilitatif yang baik bagi anak korban dan bagaimana anak yang terlibat dalam kekerasan diperlakukan sesuai dengan umurnya dalam proses hukum.
“Orang tua dan guru menjadi pihak yang paling berkepentingan untuk dapat memahami sebab-sebab anak dapat menjadi pelaku kekerasan,” ujar Rosalita yang juga pendiri Ibu Cerdas Hukum itu.
Misalnya perilaku bullying, yang dimulai dari bercandaan hingga berujung kekerasan fisik. Model bercandaan yang zaman dulu masih bisa ditoleransi, namun saat ini, dapat membuat sakit hati seseorang dengan pergeseran nilai dan konflik di masyarakat.
Oleh karena itu, upaya pencegahan dan menjauhkan anak dari potensi terjadinya kekerasan harus benar-benar menjadi perhatian bersama.
Tujuannya menjauhkan anak dari potensi melakukan kekerasan, termasuk menjadi korban kekerasan. Mengenalkan ilmu dan peraturan hukum sedari dini, mungkin bisa menjadi salah satu upayanya.
Sebab orang yang paham hukum, tentu dengan sendirinya akan lebih waspada dan mawas diri agar terhindar dari masalah hukum.
baca juga: Pernikahan Beda Agama, Hukum dan Konsekuensinya dalam Islam
Anak sebagai Pelaku Kejahatan
Dalam kasus yang ekstrem seperti peristiwa pembunuhan di Cilandak yang diduga dilakukan anak kepada keluarganya, tentu perlu mendapat perhatian khusus.
Berbeda dengan kejahatan seperti tawuran anak sekolah yang dilakukan beramai-ramai, peristiwa di Cilandak diduga dilakukan seorang diri.
Pada proses penanganannya, ketentuan hukum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) benar-benar harus ditegakkan yaitu mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.
Merujuk pada Pasal 3 UU SPPA, setiap anak dalam proses peradilan pidana memiliki hak untuk:
a. diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b. dipisahkan dari orang dewasa;
c. memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d. melakukan kegiatan rekreasional;
e. bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan
lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan
derajat dan martabatnya;
f. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali
sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling
singkat;
h. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang
objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang
tertutup untuk umum;
i. tidak dipublikasikan identitasnya;
j. memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang
yang dipercaya oleh Anak;
k. memperoleh advokasi sosial;
l. memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat;
n. memperoleh pendidikan;
o. memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p. memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kekhususan lain terhadap anak yang diduga menjadi pelaku kekerasan ada pada proses penangkapan dan penahanan. Pasal 30 Ayat 4 UU SPPA mengatur penangkapan terhadap Anak wajib dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya.
Selain itu, dalam Pasal 32 Ayat 1 UU SPPA, penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana.
Namun demikian, Pasal 32 Ayat 2 UU SPPA mengatur pengecualian yaitu penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau
lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan
ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih.
Dari mekanisme di atas, perlakuan terhadap anak yang diduga melakukan suatu tindak pidana telah jelas batasannya dalam UU SPPA.
Hal ini menjadi panduan bagi penegak hukum dalam mengatasi perkara kekerasan yang melibatkan anak-anak.
Mekanisme dan kondisi yang seharusnya juga diperhatikan dalam kasus penembakan siswa SMK di Semarang, jika memang benar terjadi tawuran dan bermaksud untuk membubarkannya.
Dalam hal perkara tertentu, penanganan perkara pidana yang melibatkan anak, juga dapat dilakukan melalui upaya Diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU SPPA yang bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Merujuk Pasal 7 UU SPPA, pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7
(tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Ayat 3, proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab Anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
UU SPPA telah memberikan panduan dan ruang bagi penegak hukum, orang tua dan pihak terkait lainnya dalam menangani perkara tindak pidana yang melibatkan anak.
Sinergitas serius semua pihak diperlukan untuk mengatasi masalah kekerasan yang melibatkan anak-anak.
Harapannya, angka kekerasan dapat ditekan menjadi serendah mungkin dan kita akan terus mampu menciptakan ketahanan keluarga yang menjadi pondasi ketahanan negara.[ind]