PENDIDIKAN seksual yang benar, tepat usia, dan disampaikan secara terbuka menjadi salah satu benteng penting dalam melindungi anak dari maraknya pelecehan seksual dan informasi keliru yang mudah diakses.
Menyadari urgensi hal tersebut, Salimah Tulungagung menggelar kegiatan Salimah Berbagi Ilmu (Sabila) secara daring melalui Zoom Meeting dengan mengangkat tema “Edukasi Seksual yang Tepat pada Anak dan Remaja” pada Ahad (13/7/2025) pagi.
Acara ini menghadirkan dr. Izzatul Fithriyah, Sp.KJ, Subsp. AR(K), seorang psikiater anak dan remaja, sebagai narasumber utama. Dalam pemaparannya, dr. Izza menekankan bahwa edukasi seksual merupakan hak anak dan tanggung jawab orang tua, bukan sekadar informasi biologis, melainkan menyangkut kesehatan mental, identitas diri, batasan tubuh, serta hubungan yang sehat dan saling menghargai.
“Anak akan mencari tahu. Jika orang tua tidak hadir sebagai sumber informasi utama, maka media sosial dan teman sebaya akan menggantikan peran tersebut, sayangnya belum tentu dengan informasi yang benar,” jelas dr. Izza.
Pentingnya Edukasi Seksual Sejak Dini
Menurut pemateri, edukasi seksual dimulai sejak anak masih balita. Misalnya, dengan mengenalkan nama-nama bagian tubuh menggunakan istilah yang tepat, mengajarkan mana bagian tubuh yang pribadi dan tidak boleh disentuh orang lain, hingga menanamkan konsep batasan fisik dan rasa aman. Informasi disampaikan secara bertahap sesuai usia perkembangan anak.
“Anak usia 3–4 tahun sudah bisa diajari konsep sentuhan baik dan buruk. Sementara anak usia 8–12 tahun perlu memahami perubahan pubertas dan membangun kesadaran menjaga diri di tengah pengaruh teman sebaya,” tambahnya.
Memahami Perkembangan Tipikal dan Atipikal
Salah satu poin penting dalam paparan adalah membedakan perkembangan seksual tipikal (normal) dan atipikal (tidak sesuai usia perkembangan). Perkembangan atipikal bisa menjadi sinyal adanya trauma, kekerasan seksual, atau paparan pornografi. Orang tua perlu peka dan responsif terhadap tanda-tanda ini dengan tidak langsung menghakimi, namun menggali dengan empati dan, jika perlu, mengajak anak berkonsultasi dengan profesional kesehatan jiwa.
“Misalnya, anak usia dini yang sudah bicara tentang seks secara eksplisit atau melakukan simulasi hubungan seksual dengan teman sebayanya, ini tidak bisa dianggap wajar. Ini tanda untuk mengevaluasi paparan yang mungkin dialaminya,” jelas dr. Izza.
Peran Orang Tua sebagai Pendamping Utama
Selain memberikan informasi ilmiah, kegiatan Sabila ini juga memberi bekal praktis kepada peserta tentang cara menjawab pertanyaan anak seputar seksualitas, bagaimana membangun komunikasi terbuka, dan bagaimana menyampaikan edukasi secara jujur tanpa menakut-nakuti.
Orang tua didorong untuk aktif mengenalkan nilai-nilai moral, menjelaskan risiko hubungan intim sebelum menikah, mengajarkan pentingnya menjaga tubuh sendiri, dan mengenalkan konsep relasi sehat sejak dini. Di usia remaja, orang tua juga perlu berdiskusi tentang pacaran sehat, risiko pornografi, serta penggunaan media sosial yang bijak.
Komitmen Salimah Tulungagung dalam Pendidikan Keluarga
Dr. Fitranti S. Laitupa, Sp, JP yang menjadi moderator dalam kegiatan ini menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen Salimah dalam memberikan edukasi berkelanjutan kepada masyarakat, khususnya dalam penguatan ketahanan keluarga.
“Salimah melihat pentingnya peran orang tua sebagai garda terdepan dalam membentuk generasi yang sehat secara fisik dan mental. Edukasi seksual yang tepat adalah salah satu ikhtiar untuk mewujudkan hal tersebut,” ungkapnya.
Melalui kegiatan Sabila ini, Salimah Tulungagung berharap para peserta dapat lebih siap, tenang, dan terampil dalam mendampingi anak-anak mereka menjalani tumbuh kembang seksual yang sehat, terarah, dan bertanggung jawab. [Mh/fat, Salimah]