ChanelMuslim.com – Selamat Datang Saudara Seiman ini ditulis oleh Salim A. Fillah pada tahun 2010 dengan judul asli “Selamat Datang”. Kisahnya dimulai dari kejadian para Perang Badar.
Satu hari, ketika Badar mulai sunyi dari gegap kecamuk pertempuran yang akhirnya mengoyak kejahatan dan memenangkan kebenaran, ‘Abdurrahman ibn ‘Auf menggiring lelaki tampan yang terbelenggu itu.
Mereka menuju ke arah lelaki yang berwajah mirip dengan sang tawanan.
Sangat mirip.
‘Abdurrahman ibn ‘Auf mengangguk takzim pada lelaki itu, “Assalamu ‘alaika, ya Mush’ab yang baik. Inilah saudaramu, Abu ‘Aziz!”
Mush’ab ibn ‘Umair menjawab salam dan membalas anggukan dalam-dalam.
Sang tawanan, Abu ‘Aziz ibn ‘Umair disergap lega. Syukurlah, dia akan diserahkan pada kakak yang disayanginya.
Betapa mimpi buruk hari ini; mengikuti Perang Badar, menyaksikan darah bersimbah ruah, melihat tumbangnya kejayaan Quroisy di tangan orang-orang Bani Najjar, dan kini tertawan; sungguh menyakitkan.
Tetapi Mush’ab tak memandang ke arahnya, tak segera memeluk menyambutnya, dan seakan tak hendak menanggalkan belenggu pengikatnya. Sang kakak justru menundukkan kepala.
“Tahanlah dia,” kata Mush’ab pada ‘Abdurrahman nyaris berbisik, “Kuatkan ikatanmu, dan eratkan belenggumu…
“Sesungguhnya dia memiliki seorang ibu yang sangat menyayangi dan memanjakannya. Insya Allah engkau akan mendapat tebusan yang berharga darinya, Saudaraku!”
“Apa?” Abu ‘Aziz membelalak. “Aku tak percaya ini! Engkau hai Mush’ab, saudaraku sendiri, engkau menjualku dan membiarkannya meminta tebusan besar pada ibu kita? Di mana cintamu pada adikmu ini hai Saudaraku?” Dia meronta.
Mush’ab memalingkan wajahnya. Dihelanya udara panjang-panjang ke dalam dada. “Tidak! Engkau bukan saudaraku.”
Ukhuwah. Persaudaraan di atas dasar iman.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.” (Qs. al-Hujurat [49]: 10)
Ikatan persaudaraan antar-mukmin dalam ayat ini digambarkan oleh Allah dengan kata ikhwah.
Baca Juga: Salamah bin Al-Akwa, Hindari Perang Saudara
Selamat Datang Saudara Seiman
Musthafa al-Maraghi menyatakan dalam tafsirnya bahwa ikhwah berarti persaudaraan senasab, ayahnya adalah Islam dan ibunya adalah iman.
Mereka bersaudara sekandung, dari rahim iman. “Kata ini,” tulis al-Maraghi, “Lebih kuat dari kata ikhwan yang bermakna persaudaraan dalam persahabatan.”
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain,” demikian Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, “Adalah saudara, ikhwah dalam agama, dan dihimpunkan dalam asal yang satu, yakni iman.”
Allah, di dalam ayat ini menggunakan kata ‘innama’, artinya ‘hanyasanya’. Kata ini menurut kaidah bahasa Arab sering menjadi ‘Adat al-Hasyr yang berfungsi membatasi dan mengkhususkan, menafikan keberadaan pada yang lain.
Jadi makna ayat ini, “Tiada persaudaraan, tiada ikhwah, kecuali di antara orang-orang yang beriman.”
Seperti yang dialami Mush’ab, persaudaraan iman jauh lebih kuat, mengalahkan persaudaraan nasab.
Dan bahkan persaudaraan nasab seolah tiada, hampa, tak bernilai, jika tiada aqidah yang mengikat hati mereka pada satu keyakinan yang sama.
Iman itu mengikat kita dalam persaudaraan yang menembus batas ruang dan masa. Ia menyatukan kita dalam doa-doa yang selalu kita bagi pada sesama peyakin sejati.
Sebagaimana tanpa kita sadari, tiap detik berjuta lisan melafalkan doa ini untuk kita.
Bahkan tanpa kita sadari, para nenek moyang berdoa untuk cicit canggahnya, dan para anak cucu berdoa untuk tua-tua leluhurnya. Mereka mungkin tak pernah berjumpa, terpisah oleh ruang dan masa.
Tapi mereka bersatu dalam doa. dalam iman. Dalam persaudaraan akbar yang melintasi gurun, kutub, lautan, hutan, dan zaman.
“Allahummaghfir, lil mu’miniina wal mu’minaat… Ya Allah, ampunilah para mukmin lelaki dan perempuan.
Ampunilah mereka yang berserah diri, yang pria maupun wanita. Yang masih hidup ataupun yang telah wafat.
Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Dekat, lagi Maha Menjawab Do’a doa. duhai Zat yang memenuhi segala hajat.”
Doa ini adalah prasasti abadi, pantul-memantul. Bersinambungan tak henti-henti. Doa ini adalah pernyataan suci. Bahwa dalam dekapan ukhuwah, kita bersaudara karena iman.
Karena iman. Karena iman. Dengannya kita mengambil cinta dari langit, lalu menebarkannya di bumi…[ind]