ChanelMuslim.com – “Ketika waktu mendidik kepadaku, ia memperlihatkan kepadaku akan kekurangan akalku. Ketika bertambah pengetahuanku, ia menambahkan aku tentang kebodohanku”
Begitulah kira-kira syair yang disenandungkan oleh pionir dan penyusun Ilmu Ushul Fiqh, Imam Syafi’i. Ia tidak pernah puas dengan ilmu yang telah ia dapat setelah berkeliling dari satu kota ke kota lain, satu negeri ke negeri lain untuk bertemu dengan para ulama dan belajar kepada mereka.
Bermula saat ia berhasil menyelesaikan hafalan Qur’an di usia 9 tahun. Ia memutuskan untuk memulai penggembaraan ilmunya menuju suatu dusun yang masih menerapkan bahasa Arab yang asli dan fasih, yaitu Dusun Baduy Bani Hudzail.
Tidak hanya mempelajari bahasa Arab, ia menyelami kesusastraannya dan syair-syairnya kepada para ahli disana selama beberapa tahun.
Baca Juga: Inilah Alasan Mengapa Waktu Disebut Laksana Pedang
Saat Waktu Mendidik Ulama Ushul Fiqh, Imam Syafi’i
Setelah itu, ke kota Mekkah ia kembali. Menemui ulama, guru besa serta mufti kota mulia tersebut, Imam Muslim bin Khalid az-Zanniy, untuk menggali ilmu fiqih. Hingga tak lama setelah itu, berkat ketekunan dan kecerdasannya ia memperoleh ijazah dan hak mengajar serta memberikan fatwa tentang hukum yang berkaitan dengan agama.
Tidak hanya ilmu fiqih, ia juga melengkapi belajarnya dengan ilmu hadits kepada Imam Sufyan bin Uyainah, pakar dan ulama ahli hadits. Serta kepada Imam Ismail bin Qasthanthin, seorang ulama ahli Qur’an di kota Mekkah.
Tak puas menimaba ilmu di Mekkah, walaupun ia telah diangkat sebagai mufti dan telah mengerti isi kitab al-Muwatta karya Imam Malik di usinya yang ke 15 tahun, ia bertekad untuk bertemu dan belajar langsung kepada penulisnya di Madinah.
Kepada ulama besar itu, Imam Malik, Syafi’i muda menjadi teman diskusinya selama delapan bulan. Ia kemudian dipercaya untuk mendiktekan kitab al-Muwatta kepada para jama’ah di masjid Madinah, termasuk kepada para ulama Mesir dan Irak yang datang berkunjung ke sana.
Di sinilah nama Imam Syafi’i mencuat dengan cukup drastis, saat ia diperintahkan oleh guru besarnya itu menyampaikan isi kitab al-Muwatta kepada orang-orang Mesir dan Irak, tidak terkecuali para ulamanya seperti Abdullah bin Abdul Hakam, Asyhab, Ibnul Qasim dan al-Laits bin Sa’ad.
Begitu besar namanya dan begitu banyak ilmu yang telah ia lahap, namun ia masih merasa haus dan lapar dengan ilmu. Ia bermaksud meneruskan hasrat belajarnya yang sangat besar ke kota lain.
Bersambung… [Ln]