PELANGI Penghancur Masa Depan ini ditulis oleh Irene Radjiman dalam Channel Telegram-nya. Ia menulis kisah nyata ini pada tahun 2016 sebagai pengingat untuk kita semua.
Ini kisah nyata terjadi pada tahun 2016.
Saat itu, di akun fb saya yang sudah tumbang, saya sering posting kegiatan saya saat masih mengajar di sekolah pilot.
Ada 1 orang teman fb saya, seorang ibu yang menanyakan bagaimana caranya agar bisa masuk ke sekolah pilot tersebut.
Kami saling bertukar nomor wa hingga akhirnya si ibu tersebut datang langsung ke kantor saya bersama anaknya yang akan dimasukkan ke sekolah pilot.
Di ruangan saya, kami ngobrol banyak. Dengan biaya pendidikan sekitar 500 juta saat itu, beliau tidak keberatan.
Admin kami menyarankan, sebelum mendaftar, baiknya dilakukan dulu medical check-up secara pribadi untuk meyakinkan calon siswa benar-benar sehat secara fisik.
Jadi waktu mendaftar nanti, saat medical examination sudah yakin 100% lulus. Ibu itu setuju.
Dua pekan kemudian masuk wa ibu tersebut dengan emot menangis.
“Mbak Iren, saya tidak jadi memasukkan anak saya ke sekolah pilot tempat mbak Irene.”
“Lho kenapa Bu? Apa terkendala biaya? Mungkin nanti bisa di nego dengan Vice President kami.”
“Bukan soal biaya mbak Irene. Boleh saya telepon?”
Baca Juga: Menangkis LGBT Sejak Dini
Pelangi Penghancur Masa Depan
Di dalam telpon, ibu itu bercerita bahwa sejak SMA, anaknya sering ikut klub-klub olahraga, seperti bulu tangkis, tenis meja, dll, karena si anak memang hobi olah raga dan gym.
Namun siapa sangka, dalam kegiatan positif itu ternyata ada bahaya juga.
Si anak mengenal seorang dosen kharismatik di sebuah universitas ternama. Dosen ini sangat ramah dan humble sehingga sangat mudah dekat dengan siapapun termasuk anak ibu tersebut.
Dosen tersebut juga kerap bertandang ke rumah si ibu. Keluarga pastilah menyambut hangat dan hormat. Si anak juga sering menginap di tempat si dosen, dan sudah pasti diizinkan oleh orang tuanya.
Hingga kemarin keluar hasil medical check-up bahwa darah si anak terinveksi HIV AIDS. Orang tua syok mengetahui hal itu.
Tadinya berfikir si anak sering mendatangi prostitusi, namun ternyata dugaan orang tuanya salah.
Setelah didesak dan diinterogasi, si anak akhirnya berterus terang bahwa ia terlibat hubungan sesama jenis dengan dosen kharismatik yang dikenal dekat oleh keluarga mereka.
Melalui sambungan telepon yang masih aktif, ibunya menangis meraung-raung membayangkan masa depan anaknya yang hancur oleh kaum pelangi itu.
“Padahal dari kecil, anak saya enggak ada tanda-tanda seperti itu, Mbak Irene. Saat kecil ya mainannya mobil-mobilan, robot, game perang-perangan.
“Bahkan saat SMP saya pernah mergokin dia naksir salah satu kembang di sekolahnya. Saya enggak nyangka, gimana caranya kok anak saya yang normal bisa belok, Mbak Iren… suami saya langsung stroke, stress setelah tahu anak kami ODHA…!!!”
Saya hanya bisa terdiam dengan menahan sesak dada yang bergemuruh. Saya juga seorang ibu, dua anak saya semuanya laki-laki. Tak terasa, air mata saya juga mengalir.
Kalau dulu, saat saya melihat kakak lelaki saya lebih diberi kebebasan oleh ayah saya dibanding saya, saya protes.
Namun ayah saya memberi alasan, “Menjaga anak perempuan jauh lebih berat daripada anak lelaki.”
Namun kini tak bisa lagi begitu. Menjaga anak lelaki maupun perempuan sama beratnya.
Saat kaum belok ini diberi panggung, diterima, dianggap wajar, sama saja kita sedang membuka peluang bagi anak-anak kita untuk meracuni kesehatan jiwa dan raganya.
Jangankan surga, bahkan maskapai manapun tak akan ada yang berani menyerahkan pengoperasian pesawat pada kaum belok.
Pantas saja bila pada zaman khalifah Abu Bakar, kaum belok ini akan dibakar, sebab memang sulit menyadarkan lalat kalau bunga itu lebih wangi dibanding kotoran sampah.[ind]