ChanelMuslim.com – Memberilah yang terbaik, Allah balas dengan yang jauh lebih baik. Artikel ini ditulis oleh Linda A. Zaini, penulis buku Parenting Langit. Berikut tulisan selengkapnya.
Suatu hari ada yang bertanya, mungkinkah kematian sosok Ulama, orang-orang shalih seperti Buya Hamka misalnya, yang wafat pada hari Jumat pagi di bulan Ramadan, orang biasa seperti kita, juga dapat meraihnya?
Ada sebuah kisah nyata yang menginspirasi, tentang bagaimana kebiasaan sosok hamba Allah yang suka memberikan hal terbaik kepada sesama, baik harta, makanan, dan tenaga.
Allah perlihatkan balasan kebaikan dan kebiasaannya itu dengan nyata di pengujung usia. Kisah nyata yang saya tuliskan ini, merupakan cerita dari sang anak tentang ibunya yang telah wafat pada waktu, hari, dan bulan terbaik, mari kita simak kisahnya berikut ini.
Pagiku hari ini sedikit membiru. Mengenang ibu, membuatku merasa haru. Ibu, adalah sosok yang amat penting dan berharga bagiku.
Aku selalu memuji ibu kepada Rabbku, aku berterima kasih pada Allah, aku telah dilahirkan melalui sosok ibuku yang baik dan bijaksana, bahkan di pengujung usia dan dalam kondisi sakit beratnya, kalimat jernih dan bijak dalam berpendapat yang selalu diutarakannya.
Bukan aku yang dalam kondisi sehat membesarkan hati dan menghibur ibu, tapi justru ibu yang dalam keadaan sakit beratnya selalu menghibur dan membesarkan hatiku, masyaAllah.
Ibu adalah sosok biasa. Bukan tokoh, bukan siapa-siapa, tinggal jauh dari kota, hanya seorang guru biasa.
Namun menjelang akhir hidupnya, Allah memperlihatkan kuasa-Nya. Memperlihatkan balasan dan kasih sayang-Nya.
Ibu yang selama merawatnya, ada banyak hal istimewa. Ia diperlakukan selayaknya sosok orang penting. Ibu mendapatkan fasilitas VVIP, dan semua protokol rumah sakit tidak berlaku untuknya.
Semua beliau tembus dengan amat mudah dan mendapatkan fasilitas terbaiknya dengan cepat.
Entahlah, betapa mudahnya pejabat rumah sakit terbesar di sebuah provinsi itu menyambut di depan sejak awal kedatangan kami, dan mengatakan kepada seluruh staf rumah sakit, bahwa:
“Ibu ini ialah saudara saya, layani dengan cepat dan berikan fasilitas terbaik untuknya.”
Saat sedang berjalan menuju satu ruang, Ibu bertanya: “Mengapa bapak menyebut saya saudara, dan mengapa bapak yang mendorong kursi roda saya,” kata ibu sambil menangis.
“Ibu kan memang saudara saya, saudara sesama Muslim…,” jawaban sang pejabat yang membuat ibu semakin tergugu.
Pejabat rumah sakit itu sendiri yang mendorong kursi roda ibu untuk menjalani seluruh rangkaian pemeriksaan di rumah sakit tanpa sedikit pun mengantri.
Sungguh, kami sama sekali tidak pernah bertemu sebelumnya, sama sekali tidak mengenalnya. Dan padahal hari itu, penampilan kami sangat tidak layak, aku bahkan masih teringat baju dan sandal sederhana yang kukenakan.
Sebab hati kami sedang sedih dengan kondisi penyakit berat ibu, tentu tak punya waktu memerhatikan penampilan kami.
Jangankan memikirkan penampilan, makan pun kami tidak sempat, berbuka dan sahur alakadarnya, dan bahkan aku hanya bisa menelan makanan satu suap saja.
Berat untuk mengunyah, patah selera, hanya ingin lama bermunajat meminta kesembuhan ibu pada Allah.
Selama di rumah sakit, ibu mendapatkan pelayanan terbaik, mulai dari kamar VIP, pemeriksaan serta pelayanan yang ramah dan hangat dari dokter-dokter senior, perawat-perawat terbaik hingga staf lainnya.
Saya teringat dengan perkataan kepala perawat kala memasuki kamar rawat ibu, beliau mengatakan: “Saya paling suka masuk kamar dan memeriksa ibu, kamarnya adem, tenang…”
Selama 20 hari mendampingi ibu dirawat, sedikitpun ibu dan kami tidak pernah diperlakukan kasar, baik perkataan apalagi tindakan.
Selama perawatan sakit, ibu membutuhkan donor darah, golongan darah ibu yang diketahui tidak mudah untuk mendapatkannya, namun tidak berlaku bagi ibu sebab sebanyak 23 kantong darah golongan AB, Allah mudahkan saja ibu untuk mendapatkannya bahkan berlebih.
Mereka orang-orang baik dan shalih itu hadir untuk berbagi dengan sukarela tanpa mau sepeserpun diberi imbalan untuk mendonorkan darah mereka.
Lagi-lagi, sama sekali kami tidak mengenal mereka, bukan kami yang mengurusnya, MasyaAllah.
Baca Juga: Suami dan Istri Saling Memberi Hadiah
Memberilah yang Terbaik, Allah Balas dengan yang Jauh Lebih Baik
Saat ibu wafat, perawat tak hentinya turut menangis dan membesarkan hati kami, kami bahkan dibiarkan pulang tanpa membayar sepeserpun uang, petugas berkata:
“Urus saja dulu jenazah ibumu, tidak usah memikirkan pembayaran…”
Lalu kami pulang begitu saja bersama jasad ibu, tanpa meninggalkan jaminan dengan ambulans yang telah menanti di depan, lagi-lagi bukan kami yang mengurusnya. Allahu akbar.
Hingga suatu hari, sekitar dua bulan setelah pemakaman ibu, uang terkumpul, bibi saya mendatangi rumah sakit untuk membayar tagihan rumah sakit.
Kami memperkirakan biayanya puluhan juta rupiah, sebab selain kamar mewah, biaya obat ibu juga amatlah mahal, bahkan ada obat yang harga satuannya mencapai tiga juta rupiah.
Namun betapa kagetnya bibi saya, sebab tagihan yang tertera hanya ratusan ribu rupiah.
Hingga kini, 14 tahun berlalu semenjak kematian ibu, kami tidak pernah mengetahui siapa yang telah memudahkan, mengurus dan membayar semua tagihan.
Aku amat mengetahui bagaimana ibu yang bila memberi atau menolong, tidak mau setengah-setengah.
“Memberilah dan menolonglah dengan yang terbaik” kalimat itu yang selalu dipesankan oleh ibu kala sedang menyiapkan pemberian-pemberian.
“Bila ada pisang yang mau diberi, berilah pisang yang paling bagus, paling besar, paling tua, bukan yang sudah sisa, apalagi makanan yang tidak kamu suka.”
Hari ini bapak bercerita lagi tentang ibu, bapak berkata bahwa di antara akhlak ibu, bila berbicara tidak pernah meninggikan diri, sosok yang rendah hati, menjaga perkataan dan sikapnya agar tidak menyakiti, sehingga siapapun senang bila berinteraksi dengan ibu.
Kepada siapapun, ibu mau berbincang hangat, dan ramah. Menolong, dan berbagi tak pernah memilih kepada siapa.
Sesiapa yang datang untuk meminta bantuan untuk keperluan semisal memasak, ibu dengan senang hati, antusias dan ekspresi penuh semangat memenuhi.
Bapak selalu mengizinkan, dan tidak pernah membatasi ibu untuk berkontribusi sehingga membuat ibu leluasa, seolah terfasilitasi untuk terus beramal shalih.
Hari ini kami mengenang, berbincang bersama bapak, mengenang hari Jumat.
Sebab hari Jumat pagi, waktu Qiyamullail pukul 04.12 WIB, beberapa menit menjelang waktu subuh, pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan kala itu, sosok yang kami cintai telah dicukupkan usianya di dunia, pada usianya yang tergolong masih muda.[ind]