ChanelMuslim.com – Setelah Halimah mengembalikan Rasulullah ke pelukan Aminah, tidak lama setelah itu, Aminah wafat dalam perjalanan. Oleh sebab itu, masa kecil Nabi Muhammad lebih banyak dihabiskan bersama Kakeknya, Abdul Muthalib dan Pamannya, Abu Thalib daripada dengan Ibundanya, Aminah.
Baca Juga:Kisah Kelahiran Nabi Muhammad yang Membawa Keberkahan untuk Ibu Susunya (1)
Aminah Wafat dalam Perjalanan Pulang
Dalam Buku “Muhammadku Teladanku” jilid 2 (Masa Muda), halaman 68-69. Sygma Daya Insani Jabar, saat itu, Aminah berniat membawa Nabi Muhammad ke Yatsrib untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara ibunya dari keluarga Najjar. Perjalanan ini juga bertujuan menengok makam Ayah Nabi Muhammad, Abdullah.
Aminah sudah lama memendam keinginan untuk menengok makam suaminya tercinta itu. Kini, ia akan berangkat ditemani putranya.
Dalam perjalanan itu, Aminah membawa Ummu Aiman, budak perempuan peninggalan Abdullah. Sesampainya di Yatsrib, mereka disambut oleh saudara-saudara Aminah.
Nabi Muhammad diperlihatkan rumah tempat ayahnya meninggal dulu serta tempat ia dikuburkan. Sesudah cukup sebulan tinggal di Madinah, mereka pun bersiap pulang.
Mereka berjalan dengan menggunakan dua ekor unta yang mereka bawa dari Makkah. Akan tetapi, di tengah perjalanan, di sebuah tempat bernama Abwa, sebuah dusun yang terletak di antara Madinah dengan Juhfa, Aminah menderita sakit hingga kemudian meninggal di tempat itu.
Dalam pelukan Ummu Aiman, dengan air mata meleleh, Muhammad menyaksikan tubuh ibunya dikuburkan di tempat itu.
Baca Juga: Kisah Kelahiran Nabi Muhammad yang Membawa Keberkahan untuk Ibu Susunya (2)
Abu Thalib Mengasuh Nabi Muhammad
Ketika tiba di Makkah, Abdul Muthalib pun menyambut kedatangan cucunya itu dengan rasa iba yang dalam. Kecintaan Abdul Muthalib makin bertambah kepada Muhammad.
Namun, belum lama Nabi Muhammad bersama Abdul Muthalib, pada usia 80 tahun, sang kakek yang dicintai Nabi Muhammad pun meninggal dunia.
Saat itu, Muhammad masih berusia 8 tahun. Sebelum wafat, Abdul Muthalib menunjuk salah seorang anaknya untuk mengasuh Muhammad.
Ia tidak menunjuk Abbas yang kaya, tetapi agak kikir. Ia juga tidak menunjuk Harist, putranya yang tertua karena Harist adalah orang yang tidak mampu.
Namun, Abdul Muthalib menunjuk Abu Thalib untuk mengasuh Muhammad karena sekalipun miskin, Abu Thalib memiliki perasaan yang halus dan paling terhormat di kalangan Quraisy.
Abu Thalib juga amat menyayangi keponakannya itu. Budi pekerti Muhammad yang luhur, cerdas, suka berbakti, dan baik hati sangat menyenangkan Abu Thalib. Ia bahkan lebih mendahulukan kepentingan Muhammad dibandingkan anak-anaknya sendiri.
Begitu pun sebaliknya, Muhammad amat mencintai pamannya. Ia tahu pamannya memiliki banyak anak kecil dan hidup dalam kemiskinan. Namun demikian, pamannya tidak pernah berutang kepada orang lain.
Abu Thalib lebih suka bekerja keras memeras keringat untuk mengganjal perut keluarganya. Karena itulah, tanpa ragu, Muhammad ikut bekerja seperti anak-anak Abu Thalib yang lain. Ia ikut membantu pekerjaan keluarga, menggembalakan kambing, dan mencari rumput.
Abu Thalib merasa bahwa Muhammad kelak akan menjadi orang yang bersih hatinya dan dijauhkan dari dosa.
Ia yakin, jika mengajak Muhammad berdoa, Allah akan mengabulkan permohonannya. Seperti yang dilakukannya ketika orang-orang Quraisy berseru, “Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah berdoa meminta hujan.”
Abu Thalib pun keluar bersama Muhammad. Ia menempelkan punggung Muhammad ke dinding Ka’bah dan berdoa.
Kemudian, mendung pun datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras hingga tanah di lembah-lembah dan ladang menjadi gembur. [Cms]