TANTANGAN dakwah Rasulullah, terutama di Mekkah, menghadapi kelompok yang menentang Islam. Kelompok ini cukup kuat dan solid karena adanya fanatisme kesukuan.
Fanatisme kesukuan di Mekkah pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu norma sosial dan sistem sosial masyarakat jahiliyyah. Ia ditempatkan lebih tinggi dari faktor apapun dalam hubungan sosial.
Jika ada satu orang dalam satu menentukan sikap dalam menghadapi Rasulullah, maka otomatis satu kelompok itu akan bersikap sama.
Misal, Abu Jahal dari Bani Makhzum menentang Rasulullah, maka orang-orang dari Bani Makhzum sulit untuk mengambil sikap yang berbeda dari keputusan Abu Jahal.
Baca Juga: Masuk Islamnya Umar bin Khattab di Bulan Dzulhijjah
Cara Rasulullah Menghadapi Kelompok yang Menentang Islam
Jika ada yang mengambil sikap berbeda maka ia akan mendapatkan diskriminasi dari keluarganya.
Di Quraisy ada aliansi antar kelompok, atas nama Ashobiyyah (fanatisme kesukuan), kelompok dari aliansi ini sulit mengambil sikap yang berbeda dengan keputusan yang diambil oleh aliansi.
Ketika Bani Makhzum mengambill sikap untuk menyerang Rasulullah dan Islam, maka Bani Sahm, Jumah, Abdi Daar dan lainnya yang ada dalam satu aliansi, akan sulit menerima dakwah Rasulullah.
Oleh karena itu, target Rasul selama dakwah di Mekkah adalah memecah kekuatan lawan dan mereduksi bobot ancaman dari satu kelompok dengan mengambil pontesi dari tiap kelompok.
Quraisy sudah pecah sebelum terjadinya perang Badar. Meskipun jumlah pasukan mereka banyak namun sebenarnya mereka rapuh.
Di Badar banyak pasukan Quraisy yang bertempur setengah hati, dan ini puncak perpecahan mereka sekaligus merupakan keberhasilan strategi Rasulullah.
Rasulullah tidak membuat modus sesumbar untuk memecah lawan. Ia selalu menggunakan skala prioritas, yaitu mana yang menjadi bidikannya atau mana orang yang menjadi targetnya.
Ia sebisa mungkin memecah intensitas permusuhan menjadi satu level. Tiap tokoh-tokoh Quraisy yang menentang dakwahnya akan dihadapi berbeda, tergantung seberapa intens masing-masing dari mereka melakukan perlawanan.
Ini merupakan keterampilan Rasulullah dalam berkomunikasi dengan lawan.
Sebagai contoh, kepada Suhail bin Amr, Rasulullah melakukan pendekatan berbeda.
Umar pernah berkata kepada Rasul akan melawan Suhail dengan keras, bahkan Umar bertekad untuk memotong lidahnya.
Namun, Rasulullah mencegahnya, ia mengatakan bahwa orang seperti Suhail seharusnya tidak bersikap menentang keras Islam.
Menurut Rasulullah, Suhail seharusnya bukan orang yang tidak mengerti pesan dalam Islam, ia juga seharusnya memahami bahwa Islam tidak pantas dimusuhi.
Rasulullah juga mengatakan kepada Umar bahwa barangkali ada sesuatu yang besar dalam diri Suhail yang bisa diberikan untuk Islam.”
Suhail kemudian masuk Islam setelah Fathu Mekkah. Ia yang paling totalitas menunjukkan keislamannya. Ia merasa bahwa dirinya terlambat masuk Islam sehingga ia benar-benar berjuang untuk Islam.
Begitu Rasulullah wafat, banyak yang umat Islan yang murtad. Situasi genting ini membuat Suhai harus mengumpulkan orang-orang Mekkah dan berpidato dihadapan mereka.
Dalam pidatonya ada kalimat-kalimat yang membuat para perawi mencengang. Ia mengatakan bahwa Muhammad itu benar-benar Rasul Allah dan bahwa ia tidak wafat sebelum menyampaikan amanat dan melaksanakan tugas risalat.
Dan menjadi kewajiban bagi orang-orang mukmin untuk meneruskan perjalanan menempuh jalan yang relah digariskannya.
Maka dengan langkah dan tindakan yang diambil oleh Suhail ini, serta dengan ucapannya yang tepat dan keimanannya yang kuat, terhindarlah fitnah yang hampir saja menumbangkan keimanan sebagian manusia di Makkah ketika mendengar wafatnya Rasulullah.
Melihat tindakan Suhail tersebut, Umar teringat apa yang dikatakan Rasulullah tentang Suhail. Kebenaran ucapan Rasulullah akhirnya terwujud.
Demikianlah cara Rasulullah membangun komunikasi di antara orang-orang yang menentang Islam. Tidak semua orang ia hadapi dengan perlawanan yang keras dan menantang.
Hal ini dilakukan untuk menghilang fanatisme kesukuan mereka dan beralih kepada pembelaan terhadap Islam. [Ln]