BOHONG itu hina bagi masyarakat Jahiliah. Hal ini menjadi pengingat bagi kita agar tidak berbohong. Sebab, bagi masyarakat seperti itu saja, kebohongan adalah sebuah hal yang tercela.
Mereka benar-benar memandang dusta sebagai sifat rendahan. Islam hadir di lisan masyarakat yang jujur ini sehingga syahadat bisa terwakili dengan zhahir ucapan lisan.
Ketika lisan mereka telah berucap itu berarti isi hati dan perbuatan pun sama.
Baca Juga: Menyikapi Suami yang Suka Berbohong
Bohong itu Hina bagi Masyarakat Jahiliah
Dikutip dari kisahmuslim.com, berikut ini sebuah kisah dimana orang-orang Arab jahiliyah menganggap dusta adalah aib yang tercela dan memalukan. Orang-orang akan mengingatnya dalam waktu yang panjang.
Dan dicap sebagai pembohong. Apalagi kalau yang berdusta adalah seorang tokoh. Kisah ini sekaligus menguatkan hikmah mengapa Nabi Muhammad diutus di Arab.
Dari Abdullah bin Abbas: Setelah Caisar Heraclius (Raja Romawi) membaca surat Rasulullah? Yang ditujukan kepadanya, ia berkata, “Hadapkan kepadaku salah seorang dari kaum orang yang mengaku Nabi ini.
Aku ingin bertanya tentang dia.”
Abdullah bin Abbas melanjutkan: Abu Sufyan bercerita kepadaku bahwa ia dan orang-orang Quraisy berada di Syam untuk berdagang. Saat itu Rasulullah dan orang-orang Quraisy masih sedang mengikat perjanjian damai.
Lalu datanglah utusan Caisar. Kami pun diundang bertemu raja. Kami masuk menemui Caisar. Caisar duduk di singgasananya dengan mengenakan mahkota. Dan di sekelilingnya terdapat tokoh-tokoh Kerajaan Romawi.
Caisar Heraclius berkata kepada penerjemahnya, “Tanyakan pada mereka, siapa yang paling dekat kekerabatannya dengan laki-laki yang mengaku Nabi itu!”
Abu Sufyan berkata, “Akulah orang yang paling dekat hubungan nasab dengannya.”
Ia bertanya, “Seberapa dekat nasabmu dengannya?”
“Dia adalah anak pamanku,” jawab Abu Sufyan. “Tidak ada pada rombongan ini seorang pun dari bani Abdi Manaf kecuali aku.”
Caisar berkata, “Mendekatlah.”
Lalu ia memerintahkan rombonganku berada di belakangku. Lalu ia berkata kepada penerjemahnya, “Katakan kepada teman-temannya, aku akan menanyai dia tentang laki-laki yang mengaku nabi itu. Apabila ia bohong, maka katakan ia berbohong.”
Abu Sufyan berkata, “Demi Allah, kalau bukan karena malu dicap sebagai pendusta, pasti aku akan berbohong saat ia bertanya tentang nabi itu. Tapi aku malu kebohonganku ini akan diingat, jadi kukatakan yang sebenarnya.”
Kemudian Caisar berkata kepada penerjemahnya, “Bagaimana nasab laki-laki itu di kalangan kalian?”
“Ia adalah seorang yang memiliki nasab terhormat,” jawabku.
“Apakah ada di antara kalian orang yang mengatakan kenabian ini sebelum dia?” tanyanya lagi.
“Tidak ada,” jawabku.
“Apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku Nabi?”
“Tidak,” jawabku.
“Apakah ada dari ayah dan kakek-kakenya seorang raja?”
“Tidak ada,” jawabku.
“Apakah pengikutnya orang-orang terhormat di kaumnya ataukah orang-orang yang lemah?”
“Pengikutnya adalah orang-orang lemah,” jawabku.
“Terus bertambah atau berkurang?” tanyanya lagi.
“Terus bertambah,” jawabku.
“Apakah ada yang murtad (keluar) dari agamanya setelah mereka memeluknya?”
“Tidak ada,” jawabku.
“Apakah dia pernah berkhianat?” tanyanya.
“Tidak. Dan kami sekarang sedang berada dalam masa perjanjian damai dengannya, kami tidak tahu apa yang akan dia perbuat.”
Abu Sufyan bergumam, “Demi Allah, aku tidak dapat menyelipkan kata lain dalam jawaban selain ucapan di atas.”
“Apakah ia memerangi kalian dan kalian memeranginya?”
“Iya”, jawabku.
“Bagaimana perang kalian?” tanyanya lebih lanjut.
“Perang antara kami dengannya silih berganti. Terkadang dia mengalahkan kami dan terkadang kami mengalahkannya,” jawab Abu Sufyan.
“Apa yang diperintahkannya kepada kalian?”
Abu Sufyan menjawab, “Ia memerintahkan kami agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apapun.
Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek moyang kami. Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi janji, dan menunaikan amanah.”
Setelah itu, Caisar berkata kepada penerjemahnya:
Katakan padanya! Aku bertanya kepadamu tentang nasabnya dan engkau menjawab ia memiliki nasab terhormat. Demikianlah para rasul. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nasab terhormat.
Aku juga bertanya kepadamu, apakah ada sebelum dia orang yang mengatakan demikian (mengaku nabi). Engkau jawab tidak ada.
Kalau ada seseorang yang mengaku sebagai nabi sebelum dia. Maka menurutku dia hanya ikut-ikutan saja.
Aku bertanya kepadamu apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum ia mengaku nabi. Engkau jawab tidak pernah.
Maka aku bisa tahu, tidak mungkin orang yang tidak berdusta atas nama manusia akan berdusta atas nama Allah.
Aku bertanya kepadamu apakah ada nenek moyangnya yang pernah menjadi raja. Engkau jawab tidak ada. Jika seandainya ada nenek moyangnya yang pernah jadi raja.
Maka ia adalah orang yang menginginkan kerajaan nenek moyangnya (kemabli ke tangannya).
Aku bertanya kepadamu apakah pengikutnya orang-orang terhormat atau orang-orang lemah.
Engkau jawab pengikutnya adalah orang-orang lemah. Demikian itulah pengikut para rasul.
Aku bertanya kepadamu apakah pengikutnya itu terus bertambah atau berkurang. Engkau jawab terus bertambah. Demikianlah keimanan sehingga ia bisa sempurna.
Aku bertanya kepadamu apakah ada yang murtad salah seorang pengikutnya setelah memeluk agamanya. Engkau jawab tidak ada.
Memang demikianlah keimanan ketika cahayanya telah menyentuh hati. Tidak seorang pun membencinya.
Aku bertanya kepadamu apakah ia pernah berkhianat. Engkau jawab tidak pernah. Memang para rasul tidak akan berkhianat.
Aku bertanya kepadamu tentang ia memerangi kalian dan kalian memeranginya. Engkau jawab demikianlah keadaannya.
Peperangan antara kalian dengannya kadang dia yang menang dan kadang kalian yang menang. Begitulah para rasul. Mereka senantiasa diuji.
Namun, pada akhirnya merekalah yang akan menang. Aku bertanya apa yang ia serukan. Engkau katakan ia memerintahkan agar menyembah Allah saja dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun.
Melarang menyembah Tuhan-Tuhan nenek moyang kalian. Memerintahkan shalat, sedekah, menjaga kehormatan diri, memenuhi janji, dan menunaikan amanah.
Inilah sifat seorang nabi. Aku telah mengetahui bahwa ia akan diutus. Hanya saja aku tidak menyangka dari bangsa kalian.
Jika apa yang engkau katakan benar , maka ia menguasai tempat kedua kakiku berpijak ini. Dan seandainya aku tahu bahawa aku akan setia kepadanya, niscaya aku pasti akan senang bertemu dengannya.
Kalau aku berada di sisinya, pasti akan aku cuci kedua kakinya.
Abu Sufyan melanjutkan kisahnya: Kemudian ia meminta untuk dibawakan surat Rasulullah.
Kemudian, dibacakan. Ternyata di dalamnya bersikan:
Bismillahirrahmanirrahim..
Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya kepada Heraclius pembesar Romawi. Keselamatan bagi mereka yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du..
Sungguh aku mengajakmu dengan dakwah Islam. Masuk Islam lah pasti engkau selamat. Islam lah, Allah akan memberimu pahala dua kali lipat. Jika engkau menolak, maka engkau akan menanggung dosa-dosa rakyatmu.
“Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (QS. Ali Imran | Ayat: 64).
Abu Sufyan kembali melanjutkan: Setelah ia selesai membacanya, terdengar suara-suara meninggi dan rebut dari tokoh-tokoh kerajaan yang ada di sekitarnya. Dan mereka semakin rebut.
Aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Kemudian ia memerintahkan kami untuk meninggalkan ruangan.
Ketika aku dan teman-temaku keluar, aku berkata kepada mereka, “Ajaran Ibnu Abu Kabasyah benar-benar telah tersebar. Raja bani al-Ashfar pun takut kepadanya… …Demi Allah aku masih terus merasa yakin dengan ajaran Rasulullah bahwa ia akan tersiar luas sehingga Allah berkenan memasukkan ajaran Islam itu ke dalam hatiku.”
(al-Anwar fi Syama-il an-Nabi al-Mukhtar, Bab Alamat Nubuwatihi ?, Hadits No:36)
Pelajaran:
Meskipun membenci Nabi Muhammad, orang-orang Quraisy tidak bersekongkol untuk berbohong dan membiarkan Abu Sufyan berbicara semaunya.
Ketahuan berbohong akan menjatuhkan harga diri dan kredibilitas seseorang di tengah masyarakat jahiliyah.
Karena itu Abu Sufyan menahan diri dari berbohong walaupun ia sangat ingin bercerita bohong.
Di masa kemudian, tradisi kejujuran bangsa Arab memudahkan dan sangat membantu dalam periwayatan hadits Nabi.
Keluarga para nabi adalah keluarga terhormat. Tidak tepat menilai kebenaran dengan keadaan pengikutnya. Banyak orang-orang lemah dan miskin yang berada dalam ketaatan dan ajaran Nabi bukan berarti hal itu keliru.
Sebagaimana orang-orang liberal dan sekuler sering menjadikan kemajuan Eropa sebagai alasan untuk meninggalkan ajaran Islam yang hakiki.
Karena menurut mereka ajaran ini tidak benar dan sudah tidak cocok lagi dengan zaman.
Umat Islam jumlahnya senantiasa bertambah. Nabi Isa juga menyerukan kalimat laa ilaaha illallah. Karena itu Nabi mengutip surat Ali Imran ayat 64 untuk mendakwahi Romawi yang Nasrani. [Cms]