BELAJAR tawakal dari anak usia sepuluh tahun. Pada abad kedua hijriyah, terdapat sebuah keluarga yang tinggal di sekitar wilayah Khurasan, sekitar Irak dan Iran saat ini.
Saat itu, kekhilafahan Islam di bawah kendali Dinasti Abasiyah. Di keluarga yang sangat sederhana itu, terdapat sebelas anggota keluarga.
Mereka adalah ayah, ibu, dan sembilan anak yang semuanya wanita. Puteri bungsu mereka baru berusia 10 tahun, tapi sudah hafal Quran.
Sang ayah bernama Abu Abdirrahman Hatim bin Alwan, atau biasa mendapat panggilan sebagai Hatim Al-A’sham.
Beliau adalah seorang ulama besar dari Khurasan yang terkenal di seluruh wilayah kekuasaan Abasiyah.
Baca Juga: Antara Khilafah dan Kerajaan
Polemik tentang rezeki
Suatu hari, sang ayah mengungkapkan kepada semua anggota keluarganya bahwa ia akan pergi jauh untuk belajar.
Pada masa itu, seorang ulama biasa mengembara untuk mencari ilmu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melalui para tokoh ulama yang berinteraksi dengan sahabat Rasulullah atau cucu dari mereka.
Hampir semua dari anggota keluarga itu menyatakan keberatan. Pasalnya, saat itu mereka tak memiliki persediaan makanan, bahkan untuk sore nanti.
Namun, si bungsu yang berusia sepuluh tahun itu justru mengizinkan. “Aku sangat setuju ayah berangkat,” ucapnya tanpa ragu.
Tapi kalau kita kelaparan bagaimana? Ucap salah satu sang kakak. Si bungsu dengan ringan mengatakan, “Kan ada Allah.”
Akhirnya, berangkatlah sang ayah pada pagi itu. Waktu terus berlalu, hingga datanglah saat malam. Pada saat itu, mereka mulai gelisah. Tak ada makanan apa pun di rumah itu, kecuali air.
Angin dingin terus bertiup kencang membuat perut mereka semakin terasa lapar. Mereka pun tak bisa tidur karena keadaan itu.
Baca Juga: Doa agar Bertawakal kepada Allah
Belajar Tawakal dari Anak Usia Sepuluh Tahun
Semua anggota keluarga itu pun memandang tajam ke arah si bungsu yang mengizinkan ayah mereka berangkat. Tapi, si bungsu tetap tegar tanpa memperlihatkan keraguan sedikit pun.
Di tengah malam dingin yang kian membuat mereka tak bisa tidur karena lapar itu, tiba-tiba pintu rumah mereka diketuk orang.
“Kami rombongan dari tempat yang jauh, adakah kalian mempunyai persediaan air?” ucap salah satu dari mereka.
Salah seorang dari keluarga itu pun menjawab, “Kami memang tidak memiliki apa-apa, kecuali air.”
Para anggota keluarga itu pun mengeluarkan persediaan air yang dimiliki untuk rombongan itu. Mereka tampak begitu kehausan.
“Ini rumah siapa?” ucap pemimpin rombongan itu, lagi.
“Hatim al-A’sham,” jawab salah seorang dari anggota keluarga itu, singkat.
“Masya Allah, Hatim al-A’sham? Beliau adalah ulama besar yang kami kenal,” ucap pemimpin rombongan itu.
Selain mereka tahu kalau sang ulama itu tidak ada di rumah, mereka baru mengenal rumah sang ulama itu yang ternyata begitu sangat sederhana.
Setelah ucapan terima kasih dan pamitan, sang pemimpin rombongan itu pun melemparkan sekantung uang emas ke arah pintu rumah yang masih terbuka.
“Siapa yang mencintaiku, silakan mengikuti apa yang aku lakukan,” ucapnya ke arah yang lain.
Semua anggota rombongan itu pun melemparkan kantung berisi uang emas mereka. Sedemikian banyaknya yang melempar, hingga pintu rumah itu tak bisa ditutup.
Saat itulah, si bungsu menghampiri yang lain. Ia menangis sebagai tanda rasa syukur kepada Allah swt.
“Siapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkan.”
Si bungsu membacakan firman Allah swt. surah Adzariyat ayat 22 dan 23.
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.
فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan.
Belakangan baru mereka ketahui, kalau rombongan itu adalah Khalifah Abasiyah kedua, Abu Ja’far al-Manshur yang sedang berpergian bersama pengawalnya yang secara tidak sengaja singgah di rumah Ulama Hatim Al-A’sham karena haus dan kehabisan persediaan air. Subhanallah. (Mh)