ADA ungkapan dari imam Mawardi bahwa “kekuasaan itu candu”.
Dalam hal ini Imam al-Mawardi mengacu pada bahaya dan risiko yang menyertai kekuasaan, bahkan bagi orang yang saleh sekalipun.
Karena kekuasaan, dalam pemikiran al-Mawardi, dapat menjadi sesuatu yang sulit dilepaskan dan menggerakkan seseorang untuk terus mempertahankan kekuasaan tersebut.
Al-Mawardi menggunakan analogi “candu” (obat adiktif) untuk menggambarkan daya tarik dan kekuatan kekuasaan.
Kekuasaan dapat membuat seseorang ketagihan dan sulit melepaskan, bahkan jika kekuasaan tersebut membawa dampak negatif.
Jadi kekuasaan bisa menjadi sangat adiktif, mirip seperti efek obat-obatan yang menghasilkan ketergantungan atau kecanduan.
Berbagai studi dalam bidang psikologi sudah menyatakan bahwa kekuasaan itu bisa mempengaruhi fungsional otak, mirip dengan efek dari obat-obatan, membuatnya sangat sulit untuk dilepaskan.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Individu yang memegang kekuasaan biasanya mengalami peningkatan kepercayaan diri dan perasaan tidak bisa dikalahkan, sementara tingkat empati dan kepedulian mereka terhadap orang lain cenderung menurun.
Studi oleh Sheri Johnson dari University of California, Berkeley dan juga studi dari Sukhvinder Obhi dari McMaster University mengkonfirmasi hal tersebut.
Beratus tahun setelah Imam Mawardi, seorang filsuf dan politikus abad Renaissance , Piccolo Machiavelli menegaskan dengan lebih lugas lagi.
Menurut Machiavelli, politik adalah bagaimana mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Ia berpendapat bahwa politik berkaitan dengan upaya untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan, bahkan dengan cara-cara yang mungkin tidak etis atau tidak bermoral.
Zuhud Terhadap Kekuasaan
Oleh karena itu dengan waskita dab pandangan tajamnya, Salim As-Sadi, salah satu gurunya Umar bin Abdul Aziz mengingatkan Umar saat setelah dilantik menjadi Khalifah kaum muslimin agar berhati-hati (zuhud) terhadap kekuasaan.
Beliau mengatakan bahwa Zuhud terhadap kekuasaan lebih penting dari pada zuhud kepada harta.
Karena tanpa zuhud terhadap kekuasaan, maka seseorang akan tidak peduli kawan dan lawan, semuanya akan disikutnya bila dipandang sebagai hambatan.
Hal ini terbukti sampai sekarang, bukan hanya orang, bahkan peraturan pun akan disikatnya juga bila dirasa menghambat dan atau membatasi.
Sebab tabiat dari kekuasaan itu adalah sentralistik, tidak ingin atau tidak mau dibagi dan tidak ingin dibatasi baik ruang maupun waktunya.
Zuhud, dalam bahasa Indonesia berarti sikap hati yang tidak terikat pada dunia, meskipun seseorang memiliki harta atau kedudukan.
Baca juga: Tafsir Surat ath-Thariq Tanda Kekuasaan Allah
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia sepenuhnya, tetapi lebih pada sikap hati yang mengutamakan kehidupan akhirat dan ridho Allah di atas kesenangan duniawi.
Zuhud adalah mengalihkan kesenangan dari duniawi kepada kehidupan akhirat.
Ini berarti tidak gembira berlebihan dengan apa yang dimiliki dan tidak terlalu sedih dengan apa yang hilang.
Dengan kata lain zuhud adalah tidak menjadikan dunia sebagai pusat perhatian dan kebahagiaan, tetapi menggunakannya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Oleh karena itu orang yang zuhud terhadap kekuasaan bukan saja tidak terikat pada keinginan untuk memiliki, mempertahankan kekuasaan, meskipun memiliki kesempatan untuk menjadi pemimpin atau memiliki pengaruh politik tetapi ia juga tidak akan terjerumus dalam persaingan yang keras atau menggunakan cara-cara yang tidak etis untuk mencapai atau mempertahankan kekuasaan.
Ahh… Semoga saat ini masih ada, bukan hanya cerita waktu dulu.[Sdz]
Sumber: Serambi Ilmu dan Faidah