PEJABAT tinggi menyampaikan bahwa tahun ini tahun sulit dan tahun depan tahun gelap. Kenapa?
Selama ini ekonomi dunia terperangkap dalam sistem sekuler. Sistem ini antara lain ‘menuhankan’ sistem riba di hampir semua sisi ekonomi.
Transaksi pun didominasi dengan mata uang asing, dalam hal ini dolar Amerika. Akibatnya ada ketergantungan dengan keadaan ekonomi si empunya uang.
Ketika ‘sang tuan’ uang meminta dolar pulang kandang, maka kelangkaan dolar pun terjadi. Dan hal itulah yang akhirnya melemahkan nilai uang lokal terhadap dolar.
Tiga Bencana Ekonomi
Ada tiga bencana ekonomi yang ditandai dengan tiga kebijakan yang akhirnya mematikan ekonomi itu sendiri. Yaitu, pandami, printing money, dan perang Rusia Ukraina.
Selama pandemi, ekonomi stagnan. Uang tidak bergerak. Hal ini karena pandemi memaksa kegiatan ekonomi berhenti. Dari level atas hingga bisnis rumahan dan jalanan.
Saat itu, kondisi ekonomi mengalami sakit yang luar biasa. Persis seperti struk yang disebabkan mandegnya aliran darah ke seluruh tubuh.
Lebih repot lagi, keadaan ini terjadi di seluruh dunia. Termasuk di dunia negara raksasa, yaitu Amerika dan Cina.
Kebijakan Printing Money
Di masa pandemi, hampir semua negara melakukan sebuah kebijakan yang bisa dikatakan bunuh diri ekonomi. Yaitu, apa yang disebut dengan printing money atau mencetak uang.
Triliunan dolar Amerika dicetak oleh negara-negara di dunia. Dua negara besar yang melakukan itu adalah Amerika dan Cina.
Indonesia pun termasuk yang melakukan kebijakan itu. Kabar mengabarkan bahwa lebih dari 500 triliun rupiah uang dicetak.
Sebenarnya, printing money tidak melulu sebagai kebijakan buruk. Ada niat baiknya. Yaitu, ‘merangsang’ pergerakan ekonomi yang semasa pandemi stag. Dengan ‘menyebar’ uang di masyarakat diharapkan adanya aktivitas ekonomi yang menjadikan ekonomi besar bergerak lagi.
Masalahnya, siapa yang mengawasi printing money di semua negara. Apakah kebijakan itu benar-benar objektif atau malah menjadi manipulatif.
Akibatnya terjadi peredaran uang yang melampaui kemampuan ekonomi yang sebenarnya sebuah negara. Dan akhirnya terjadilah inflasi besar-besaran.
Perang Rusia Ukraina
Perang Rusia Ukraina ternyata tidak sekadar berimbas pada keamanan regional dan internasional. Melainkan juga pada daya tahan ekonomi dunia.
Hal ini karena Rusia secara faktual sudah menjadi pom bensin dunia, sekaligus sumber energi dunia terutama Eropa.
Matinya saluran energi dari Rusia menyebabkan krisis energi melanda Eropa. Dan hal ini berimbas ke seluruh belahan dunia.
Lebih parah lagi, Rusia dan Ukraina juga sudah lama berperan sebagai logistik pangan dunia. Sebagian besar gandum dunia berasal dari dua negara itu. Ketika terhenti, dunia terancam mengalami krisis pangan.
‘Gelap’ Ekonomi di 2023
Inflasi yang luar biasa dan merata di dunia serta terhentinya kegiatan ekonomi secara massif memunculkan apa yang disebut dengan stagflasi. Hal ini diperparah dengan rapuhnya fundamen ekonomi di hampir semua negara karena kebijakan printing ekonomi yang over dosis.
Boleh jadi hanya negara-negara yang memiliki sumber komoditas nyata yang bisa bertahan dalam keadaan ini. Selain juga negara-negara yang ekonominya menjadi standar dunia seperti dolar Amerika.
Sebenarnya, Indonesia sudah bisa dimasukkan sebagai negara yang memiliki cadangan sumber daya alam memadai. Tapi, hal itu tidak dikelola dengan baik. Hanya dijual keluar negeri dalam bentuk bahan mentah.
Daya dukung ekonomi Indonesia bisa dibilang di atas 60 persen dari konsumsi rakyatnya. Nah, apa yang akan terjadi jika kemampuan ekonomi sebagian besar rakyat tidak lagi memiliki daya dan upaya.
Hal ini diperparah dengan PHK massal di hampir semua perusahaan rintisan atau start up. Kebijakan ‘gelembung’ mereka yang jor-joran selama ini akhirnya menjadi senjata makan tuan.
Tentu saja, ekonomi tidak bisa dilokalisir sebagai ruang vakum. Karena krisis ekonomi akan berdampak pada sektor lain seperti politik dan sosial.
Semoga gambaran gelap seperti itu tidak benar-benar terjadi di sekitar rumah kita. [Mh]