STANDAR Paripurna Akhirat, ditulis oleh Djoko P. Abdullah. Standar Akhirat sangat berbeda dengan standar dunia, sebab manusia menilai sesuatu berdasarkan realitas yang mereka lihat secara nyata.
Abu Darda, nama lengkapnya Uwaimir bin Qais bin Zaid bin Umayyah bin Al Harits Al-Anshari. Ia lahir di Madinah, dari kalangan keluarga tajir melintir.
Jadi beliau memang tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga dengan harta dan kekayaan yang berlimpah ruah.
Karena itu, layak kalau kemudian setelah dewasa ia tertarik pada bidang trading dan sukses sebagai saudagar terkemuka di kota kelahirannya.
Namun setelah beliau masuk Islam dan banyak mendapatkan pelajaran dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, beliau tidak mau ketinggalan dengan sahabat lainnya, dalam membaktikan dirinya untuk Islam dan berlomba dalam kebajikan.
Bahkan demi kejayaan Islam dan untuk kesucian dan keluhuran pribadinya, ia rela meninggalkan profesinya dan kekayaannya yang berlimpah itu.
Dan akhirnya beliau menjadi salah seorang sahabat mulia Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yang dikenal sebagai seorang budiman dan ahli hikmah.
Baca juga: Tiga Jenis Hakim di Akhirat
Standar Paripurna Akhirat
Beliau berhasil dalam menundukkan dunia dengan semua godaan dan rayuannya. Kiranya patut di abad modern yang serba materialistis ini kita bercermin pada riwayat dan perjalanan hidupnya.
Mengapa semua sahabat nabi Shallallahu alaihi wa sallam memiliki Ruh At-Taghyir (semangat berubah) yang revolusioner ketika masuk Islam?
Alam pikiran sahabat Nabi memang berbeda dengan kita. Mereka punya ukuran paripurna yang berbeda dengan kita. Kemampuan mereka memahami akhirat begitu integral dan komprehensif.
Standar Akhirat sangat berbeda dengan standar dunia, sebab manusia menilai sesuatu berdasarkan realitas yang mereka lihat secara nyata.
Sedang standar akhirat diukur dengan hal-hal yang ghaib yang terkait dengan keyakinan.
Di sinilah relevansinya kita mengingat pesan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
سلوا الله اليقين و العا فية
“Mintalah keyakinan dan kesejahteraan kepada Allah.”
Keuntungan versi dunia belum tentu keuntungan versi akhirat. Kerugian versi dunia juga belum tentu sama dengan kerugian versi akhirat. Kadang kerugian versi dunia merupakan puncak kesuksesan versi akhirat.
Begitu juga kekalahan, kemenangan, kematian, kehidupan, kebahagiaan, kesengsaraan, kekuatan, kelemahan, batasan minimal, standar maksimal, kegelapan, cahaya, kemuliaan, kehinaan, kekayaan, kemiskinan, dan lain sebagainya.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam mentarbiyah para sahabat untuk menerapkan standar akhirat ini di kehidupan mereka.
‘Orang Bangkrut’ pada hari kiamat
Ketika Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat, tiba-tiba beliau bertanya kepada mereka, “Tahukan kalian siapa Orang Bangkrut itu?” Para sahabat menjawab,” “Menurut kami, Orang Bangkrut ialah orang tidak punya lagi harta, uang dan aset lain.”
Inilah standar dunia tentang Orang Bangkrut. Tapi, standar Akhirat berbeda dengan standar dunia. Dalam standar akhirat harta tidak masuk dalam standar untuk menentukan apakah seseorang itu bangkrut atau kaya.
Karena itu Rasulullah meluruskan pemahaman para sahabat dengan bersabda, “Orang Bangkrut dari kalangan umatku ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa dan zakat. Ia juga membawa dosa pernah mencuri si A, menuduh si B berzina, makan harta si C, menumpahkan darah si D, dan memukul si E. Lalu si A, si B dan seterusnya diberi kebaikannya.
Jika kebaikannya habis, sementara utangnya belum lunas, maka dosa orang- orang yang pernah ia zalimi diambil, lalu dilemparkan kepadanya, lalu ia dijebloskan ke neraka.” (HR Muslim).
Seabrek aktivitas ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, umrah tidak berarti banyak bagi ‘Orang Bangkrut’, karena ia juga mengoleksi sekian banyak kejahatan dan kezaliman.
Karena begitu jelasnya standar akhirat pada orang zuhud dan jujur, Ibrahim bin Adham, tidak menerima hadiah, kecuali dari orang kaya versi standar akhirat.
Dikisahkan, seorang berkata kepada Ibrahim bin Adham, ‘Saya ingin Anda menerima jubah ini dariku” Ibrahim bin Adham menjawab,” Kalau Anda kaya saya mau menerima hadiah ini. Jika Anda miskin, saya tidak mau menerimanya.”
Orang itu berkata, “Saya orang kaya” Ibrahim bin Adham berkata,” Anda punya stock jubah berapa?” Orang itu menjawab, “Dua ribu jubah.” Ibrahim bin Adham berkata, “Apakah Anda ingin punya empat ribu jubah?” Orang tersebut menjawab, “ya.” Ibrahim bin Adham berkata, “Kalau begitu Anda miskin” (karena masih butuh jubah lebih banyak lagi), saya tidak mau menerima hadiah jubah darimu.”
Demikianlah orang-orang zuhud dan wara’ sekelas Ibrahim bin Adham menikmati dunia dan berinteraksi dengan manusia.
Orang-orang tersebut tidak mau menjadi budak standar dunia yang selalu berotasi dan fana.
Mereka selalu memakai standar akhirat, agar perjalanan hidupnya tidak menyimpang, hingga tiba di negeri akhirat dengan aman dan selamat.
Dikutip dari buku Interview With The Syaitan. Iblis juga dikisahkan pernah melakukan perbuatan baik. Akan tetapi, perlu diingat bahwa mereka tetaplah iblis.
Perbuatan baik yang mereka lakukan untuk kepentingan pribadi. Salah satunya menolong sahabat Rasul Shallallahu alaihi wa sallam yang buta yaitu Abdullah bin Ummi Maktum.
Dikisahkan Ibnu Ummi Maktum melangkahkan kakinya ke Masjid dengan tertatih-tatih. Bahkan tidak jarang beliau sampai terjatuh di perjalanannya menuju masjid.
Hingga suatu hari, Ibnu Ummi Maktum berjalan ke masjid hingga terjatuh dan kemudian ia bangun lagi.
Suatu saat, dalam perjalanan ke masjid beliau hampir kembali terjatuh, tiba-tiba tubuhnya ditangkap oleh seseorang. Ternyata sosok yang menangkapnya adalah iblis.
Meski demikian, awalnya iblis tidak berkenan mengungkapkan identitasnya. Namun pada akhirnya iblis mengungkapkan alasan menolong Ibnu Ummi Maktum.
Alasannya karena iblis khawatir jika Ibnu Ummi Maktum terjatuh lagi, semua dosanya akan diampuni.
“Sesungguhnya aku ini iblis, yang sengaja membantumu untuk bisa ke masjid,” kata iblis. Ibnu Ummi Maktum menjawab, “Apa gerangan yang menyebabkan begitu baiknya dirimu padaku?”
Iblis menjawab, “Wahai Ibnu Ummi Maktum, sesungguhnya aku tidak berbahagia ketika engkau jatuh lagi karena itu akan menghapus seluruh dosamu yang artinya engkau akan berada di surga.”
Lihatlah betapa iblis memiliki misi standar akhirat. Dia menolong dan membuat orang senang, namun target iblis agar orang tersebut tidak menjadi penghuni surga. Wallahu a’ lam.[ind]