SELF IDENTITY lebih penting dari kartu identitas. Suatu hari, Ustaz Arafat menceritakan dirinya dan istri yang sedang makan di sebuah pusat jajanan. Sejurus kemudian, masuklah lelaki dengan gitar di tangannya.
“Bapak dan ibu sekalian izinkan saya mengamen untuk mencari makan. Daripada saya mencuri atau merampok, lebih baik saya mengamen!” Lantas dia mulai bernyanyi dengan suara yang fals.
Konsentrasi saya teralihkan dengan ucapan lelaki tersebut. Apa yang ia utarakan itu disebut sebagai self identity, yaitu persepsi atau pandangan seseorang tentang dirinya sendiri.
Tanpa disadari, sebetulnya dia telah menyematkan identitas kepada diri sendiri.
Bahwa dia tidak akan sanggup untuk mencari rezeki dengan jalan yang normal, seperti bekerja kepada orang lain, berjualan, menawarkan jasa, dan sebagainya.
Satu-satunya yang “normal” baginya hanya mengamen. Inilah identitas dirinya.
Bahwa dia sebenarnya punya cukup nyali untuk terjerumus menjadi pencuri atau perampok, jika saja orang-orang sudah tak mau memberikan uang saat dia mengamen.
Mungkin kalimat ini terdengar mengandung ancaman. Bagaimanapun juga, itulah identitas dirinya.
Jika sudah demikian, sampai kapanpun orang seperti ini tak mungkin bisa bekerja. Seringan apapun pekerjaannya, ia tetap tak sanggup karena memang demikianlah penilaiannya terhadap diri sendiri.
Oleh karena itu, hati-hati dengan self identity.
Baca Juga: Perjuangan Mempertahankan Identitas Muslim bagi Keturunan Afrika di Amerika
Self Identity Lebih Penting dari Kartu Identitas
Tak hanya terjadi pada pengamen, banyak orang yang menilai diri sendiri terlalu rendah hingga akhirnya identitas dirinya benar-benar menjadi kenyataan.
Pernahkah kita mendengar orang yang mengeluh seperti ini;
“Saya ini hanya orang kampung! Enggak ngerti apa-apa.”
“Saya gaptek, jadi enggak berbakat jualan online.”
“Saya datang dari keluarga miskin, jadi tidak mungkin jadi orang sukses.”
Sebetulnya semua bermula dari cara mereka memandang dirinya.
Itulah sebabnya Al-Quran telah memperingatkan agar jangan melemahkan diri sendiri sebagaimana tersebut dalam awal ayat 139 Surat Ali Imran,
وَلَا تَهِنُوا۟
“Janganlah kalian merasa lemah.”
Begitu pula pelajaran berupa kisah dari Surat Al-Qashas ayat 22 ketika Nabi Musa yang berasal dari Mesir pergi ke sebuah negeri yang baru baginya bernama Madyan.
Apa yang terucap dari lisan Nabi yang mulia tersebut?
وَلَمَّا تَوَجَّهَ تِلْقَآءَ مَدْيَنَ قَالَ عَسَىٰ رَبِّىٓ أَن يَهْدِيَنِى سَوَآءَ ٱلسَّبِيلِ
Dan tatkala ia menghadap ke jurusan negeri Madyan ia berdoa (lagi), “Mudah-mudahan Tuhanku membimbingku ke jalan yang benar.”
Perhatikan bahwa Nabi Musa memiliki self identity yang bagus sekali bahwa beliau adalah seorang pembelajar, sehingga siap menerima bimbingan dari Tuhan.
Bahwa beliau tak mau terjerumus dalam perbuatan tercela, sehingga yang terpikir dalam hatinya hanya jalan yang benar.
Pada kasus-kasus yang kita sebutkan sebelumnya di atas, pasti akan lebih bernilai jika kita memberi identitas pada diri sendiri sebagai pribadi yang siap bertumbuh, pembelajar, dan berhak untuk sukses.
Mulai dari apa yang kita katakan.
“Memang saya orang kampung! Justru itu rasa keingintahuan saya besar dan membuat saya tak akan berhenti mencari tahu tentang apapun.”
“Saya gaptek, sehingga saya semangat belajar lebih cepat dibandingkan orang lain untuk mengejar kegaptekan saya.”
“Saya datang dari keluarga miskin, jadi seharusnya jatah miskin saya sudah habis. Tinggal jatahnya untuk berusaha dan raih kesuksesan.”
Setelah selesai makan, saya dan istri meninggalkan tempat tersebut. Dalam hati saya bertanya-tanya, identitas seperti apa yang akan selalu saya labelkan pada diri sendiri?
Saya harus hati-hati, karena semua ini bermula dari identitas dan berakhir menjadi kenyataan.[ind]
Sumber: https://t.me/semangatsubuh