DEMONSTRASI sejatinya menyampaikan aspirasi yang tersumbat. Dan hal itu wajar dalam negara yang demokratis.
Demonstrasi atau aksi unjuk rasa merupakan hal wajar dalam negara demokratis. Bukan hanya boleh, bahkan negara harus memberikan ruang dan perlindungan agar demo bisa berjalan damai dan lancar.
Namun, tidak semua demo sebagai sebuah kewajaran menyampaikan aspirasi. Ada juga demo yang ditunggangi banyak kepentingan. Terutama demo-demo yang berskala besar.
Demo yang Ditunggangi Pengusaha
Pada tahun 70-an, di Amerika pernah ada demo menolak minuman alkohol. Hal ini didasari oleh banyaknya kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengemudi yang mabuk karena minuman keras.
Demo ini bisa dibilang wajar. Yang berdemo jelas merupakan organisasi massa yang gelisah dengan dampak minuman keras yang berakibat kecelakaan di jalan raya.
Selang beberapa waktu setelah diberlakukan larangan minuman keras, ada demo besar lagi yang meminta supaya miras diperbolehkan seperti biasa. Hal ini karena dianggap melanggar hak asasi manusia.
Yang berdemo tidak mewakili sebuah lembaga yang jelas. Hanya kumpulan orang-orang, tapi dalam jumlah yang besar. Anarkhis pula.
Akhirnya diputuskan diperbolehkannya miras. Tapi, ada aturan khusus untuk mereka yang akan berkendara. Kata aturan khusus tentu saja hanya sebagai ‘pemanis’. Karena pada kenyataannya sulit diterapkan.
Siapa di balik demo yang menuntut ‘dihalalkannya’ miras untuk publik? Di balik demo besar ini ternyata para pengusaha miras yang merasa rugi karena perusahaannya bangkrut.
Jadi, tidak semua demonstrasi besar murni sebagai penyampaian aspirasi warga. Tidak sedikit yang merupakan permainan para pengusaha besar.
Permainan Politisi Menjatuhkan Lawan
Di negara demokratis, kadang aspirasi bisa berupa apa saja. Bahkan kepala negara atau kepala daerah yang baru terpilih pun bisa didemo besar-besaran agar jatuh atau mengundurkan diri.
Ketika masa awal reformasi, kepala negara atau kepala daerah dipilih melalu legislatif. Nah, ketika ada rekayasa demo besar-besaran yang menolak kepala negara atau kepala daerah, maka para legislatif bisa langsung membuat rapat khusus.
Di antara isi rapat khusus itu, berupa kesepakatan bersama, bisa melalui suara tertutup atau terbuka untuk menerima atau menolak kepemimpinan seseorang. Jika ditolak, maka habis sudah karir sang pemimpin itu.
Tentu saja, demo ini tidak murni dari rakyat. Melainkan dari para pesaing yang menginginkan pergantian kekuasaan: pusat atau daerah.
Demonstrasi untuk Pengalihan Isu
Dalam dunia politik manipulatif, demonstrasi bahkan bukan hanya tidak memiliki isi tuntutan aspirasi yang jelas, tapi juga ditujukan untuk di luar demonstrasi itu sendiri.
Yaitu, dengan tujuan untuk mengalihkan isu publik yang sedang viral ke isu viral baru yang direkayasa.
Dengan melalui demonstrasi besar, isu viral sebelumnya menjadi mulai terlupakan atau setidaknya tidak lagi menjadi bahan utama diskusi atau pembicaraan.
Ciri-ciri Demonstrasi Alami dan Rekayasa
Ada sejumlah ciri yang menunjukkan sebuah demo itu alami atau rekayasa karena kepentingan pihak lain. Antara lain:
Satu, demo alami mempunyai organisasi atau perkumpulan pengunjuk rasa yang jelas. Misalnya, perkumpulan pedagang jamu tradisional, organisasi pengusaha batik nasional, atau lainnya. Biasanya mereka tergabung dalam organisasi yang sudah jelas.
Sementara, demo yang rekayasa dilakukan oleh lembaga atau organisasi yang seperti semboyan tahu bulat: digoreng dadakan. Tidak jelas siapa ketuanya, di mana alamat sekretariatnya, dan siapa penanggungjawabnya.
Dua, demo alami biasanya tidak ada ‘penyebaran amplop’ atau bayaran. Hal itu karena para peserta sama-sama sedang memperjuangkan aspirasi bersama.
Sementara demo rekayasa, para peserta tidak terkait dengan aspirasi yang mereka bawa. Mereka hanya ‘difasilitasi’ oleh donatur yang juga sebagai pemilik kepentingan. Bahkan, ada agen-agen yang bisnisnya merekrut peserta demo dadakan dan dibayar selepas demo usai.
Tiga, demo alami dilakukan oleh para peserta yang paham betul apa aspirasi mereka. Sementara demo rekayasa dibanjiri oleh peserta yang hanya sebagai penggembira, dan sama sekali tidak tahu apa aspirasi mereka.
Empat, demo alami dilakukan tertib dan taat aturan. Hal ini karena demi menjaga nama baik organisasi mereka.
Sementara demo rekayasa dilakukan tidak tertib, bahkan anarkhis alias merusak. Hal ini karena mereka hanya ingin melampiaskan kemarahan.
Jadi, berhati-hatilah jika ingin ikutan berunjuk rasa atau demo. Salah-salah, kita bukan saja merusak aspirasi yang ingin disampaikan, tapi juga merusak fasilitas publik yang juga dibiayai kantong kita sendiri. [Mh]