Rantau, Anak, dan Surau dalam Film Surau dan Silek oleh: Yusuf Maulana (Kurator Pustaka Lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta)
Chanelmuslim.com– Menyaksikan Surau dan Silek yang tayang perdana serentak 27 April 2017 ini, sesungguhnya tak sebatas soal melihat narasi anak-anak kecil Minang dalam menyelami alam berpikir masyarakatnya.
Film besutan Arif Malinmundo ini juga lebih jauh mengenalkan ihwal kepengasuhan dan tantangan sebuah masyarakat di era yang terus bergulir, berubah drastis. Sebuah film yang mengajak kita merenung untuk mengisi ruang publik yang kian pepak oleh sampah konsumerisme dan budaya cepat-instan. Surau dan silat adalah simbol ‘kelambatan’, kesabaran, ketika hari ini semua orang ingin berlomba-lomba menjadi terbaik tanpa melihat proses.
Baca Juga: Kawasan Saribu Rumah Gadang, Wisata Bangunan Khas Minang
Rantau, Anak, dan Surau dalam Film Surau dan Silek
Semua berorientasi hasil, tanpa melihat apakah cara-caranya halal atau haram; menaati aturan ataukah menentangi.
Mengenalkan anak sejak dini ke ruang publik yang ramah sepertinya satu persoalan pelik bagi orangtua sekarang. Betapa tidak, melepaskan ananda tercinta di ruang yang bermunculan potensi predator anak, sama artinya menyetorkan masa depan mereka ke para kriminal akut.
Di Surau dan Silek, ada gedoran kerinduan untuk menghadirkan ruang publik yang ramah anak; ruang yang steril dan jauh dari tindakan kriminal sebagai kemestian bersama. Ruang yang menghadirkan keteladanan dalam beragama sebagai tempat mendidik kemandirian dan potensi kepemimpinan anak.
Dalam bahasa berbeda, sesungguhnya Surau dan Silek alat mengetuk kepedulian—terutama—pemangku kebijakan di banyak kota supaya kembali peduli terhadap ruang publik. Agar ruang publik diisi dengan hal positif dan mengantisipasi kemungkinan destruksi dari penyaluran energi anak-anak muda yang tidak tepat.
Di tengah derasnya cabaran mengejar hasil, film ini mengajak kita untuk bersikap selembut angin semilir di tanah persawahan di Minang. Agar hidup tak selalu ngoyo dan berkompetisi ketat namun saat yang sama menyingkirkan kemanusiaan kita. Hadirnya mal dan artefak ruang publik modern seyogyanya jadi penanda ada kecemasan yang harus dihadirkan oleh kita, terutama yang berposisi selaku orangtua.
(ind)