oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
ChanelMuslim.com – Bismillahirrahmanirrahim. Sebagian masjid di Indonesia ditutup untuk menekan angka bertambahnya korban Covid-19. Ada kalangan yang menuduh, dengan demikian proyek zionis telah berhasil.
Korban di Indonesia saat tulisan ini dibuat sudah 1000 lebih, yang wafat hampir 90. Korban ini tercatat rapi by name by adress, bahkan bisa jauh lebih dari itu dan terus bertambah, artinya kewaspadaan ini bukan beranjak dari mauhumah (ilusi) sebagaimana tuduhan sebagian orang, tapi beranjak dari fakta dan data.
Ada pun tingkat dunia, korban terpapar Corona tertinggi adalah AS, tapi korban wafat tertinggi adalah Itali, sudah lebih 4000. Menyusul, Cina, Spanyol, dan negara-negara Eropa sudah ribuan pula yang wafat, lalu Iran yang sudah 1000 lebih pula yang wafat.
Sebaran ini menunjukkan, jika ini proyek Zionis kenapa yang korban dan wafat jauh lebih banyak di Eropa dan AS, bukan di negeri-negeri muslim? Tapi, bagi penganut dan pemuja “teori konspirasi”, kenapa tidak? Zionis itu rela mengorbankan keluarga sendiri asalkan tujuan tercapai.
Apa yang difatwakan para ulama merupakan respon cepat, dari realita dan data, sebab mencegah lebih baik sebelum terjadi. Itulah kenapa Umar Radhiallahu ‘Anhu dan pasukannya menghindari negeri yang dilanda wabah, ke negeri yang lebih sehat, agar tidak jatuh korban satu pun dari umat Islam. Jadi, cara berpikirnya bukan nunggu korban dulu baru bertindak dan berfatwa. Bukan nunggu kecelakaan lalu lintas dulu baru buat rambu-rambu, tapi rambu-rambu dibuat agar tidak celaka.
Faktanya, MUI tidak memfatwakan tutup masjid. Berbeda dengan KSA, Qatar, Kuwait, yang sudah memfatwakan demikian. Fatwa MUI cukup adil dan kondisional, bagi daerah yang masih bisa terkendali hendaknya aktivitas ibadah berjalan seperti biasa. Ada pun daerah yang sudah red zone barulah mereka dianjurkan shalat di rumah.
Tinjauan Fiqih
Jika kita lihat literatur ulama, maka kita akan dapatkan bahwa MAYORITAS ulama membolehkan penutupan masjid di luar waktu-waktu shalat padahal dalam keadaan kehidupan normal dan sehat, kecuali sebagian Hanafiyah yang memakruhkannya.
Tertulis dalam kitab para ulama:
ذهب جمهور الفقهاء وهو قول للحنفية إلى أنه لا بأس بإغلاق المساجد في غير أوقات الصلاة، صيانة لها وحفظا لما فيها من متاع، وتحرزا عن نقب بيوت الجيران منها، وخوفا من سرقة ما فيها
Mayoritas ahli fiqih berpendapat, dan ini adalah pendapat kalangan Hanafiyah, bahwa tidak apa-apa menutup masjid di selain waktu-waktu shalat, dalam rangka melindungi dan menjaga barang-barang berharga yang ada di dalamnya, dan menjaga dari celah rumah-rumah di sekitarnya, dan khawatir dari pencurian.
(Adabusy Syar’iyah, 3/406, I’lamus Saajid, 340, 344, Fathul Qadir, 2/199)
Namun, sebagian Hanafiyah ada pula yang melarang hal itu:
وذهب الحنفية إلى أنه يكره تحريما إغلاق باب المسجد لأنه يشبه المنع من الصلاة والمنع من الصلاة حرام لقوله تعالى: {ومن أظلم ممن منع مساجد الله أن يذكر فيها اسمه وسعى في خرابها}
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa menutup masjid adalah makruh tahrim (makruh yang mendekati haram), karena hal itu sama saja dengan mencegah shalat, dan mencegah shalat adalah perbuatan haram, karena Allah Ta’ala berfirman: (dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalanghalangi menyebut nama Allah dalam mesjid-mesjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya?).
(Fathul Qadir, 2/199)
Syaikh Abdurrahman Al Jazairi mengatakan:
وكذلك يباح إغلاق المساجد في غير أوقات الصلاة عند الأئمة الثلاثة، ما عدا الحنفية
Demikian juga dibolehkan menutup masjid di luar waktu-waktu shalat menurut tiga imam madzhab, kecuali Hanafiyah. (Al Fiqhu ‘Alal Madzaahib Al Arba’ah, 1/263)
Salah satu ulama Hambali abad 20, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:
إغلاق تلمساجد و الكعبة وما أشبه ذلك للحاجة لا بأس به، ولا يقال إن هذا من منع مساجد الله يذكر فيها اسمه، لأن هذا لمصلحة أو لحاجة أو لضرورة أحيانا
Menutup masjid dan ka’bah dan semisalnya jika krn ada kebutuhan tidak apa-apa. Itu tidak dikatakan “Ini manusia mencegah berdzikir kepada Allah di dalam masjid” karena ini demi maslahat atau kebutuhan, bahkan kadang itu mendesak untuk dilakukan (darurat).
(Ta’liq ‘alash Shahih al Bukhari, 5/420)
Lalu, bagaimana jika di musim wabah?
Jika di saat normal dan sehat saja, boleh ditutup yaitu di luar waktu shalat karena khawatir dengan harta atau aset masjid, maka apalagi dalam keadaan wabah di mana kekhawatirannya adalah atas aset terpenting umat Islam yaitu nyawa kaum muslimin. Demikianlah qiyas awlawi-nya.
Jika masjid ditutup, maka apalagi keramaian selain masjid seperti diskotik, cafe, mal, dll, maka lebih layak untuk ditutup. Tanpa harus ada penjelasan lebih jauh seharusnya seorang muslim yang berakal sudah memahami itu.
Oleh karena itu, penutupan masjid juga pernah terjadi hampir seribu tahun yang lalu. Jelas ini bukan proyek zionis.
Imam adz Dzahabi Rahimahullah berkata:
وفي سنةِ ثمانٍ وأربعين وأربعمائةٍ كَانَ القَحْطُ عَظِيْماً بِمِصْرَ وَبَالأَنْدَلُس، وَمَا عُهِدَ قَحْطٌ وَلاَ وَبَاءٌ مِثْله بقُرْطُبَة، حَتَّى بَقِيَت المَسَاجِدُ مغلقَة بِلاَ مُصَلٍّ، وَسُمِّيَ عَام الْجُوع الكَبِيْر.
Di tahun 448H terjadi kekeringan parah di Mesir dan Andalusia, dan di Qordoba tidak terjadi kekeringan dan wabah seperti itu, sampai-sampai MASJID-MASJID DITUTUP TIDAK ADA ORANG SHALAT. Dinamakan tahun super kelaparan.
(Siyar A’lam an Nubala, 18/311)
Imam Al Muqrizi bercerita tentang Tha’un tahun 749H:
و تعطل الأذان من عدة مواضع وبقي في الموضع المشهور بأذان واحد… و غلقت أكثر المساجد و الزوايا )
Adzan ditiadakan dari sejumlah daerah, untuk daerah lainnya yang masyhur diadakan adzan satu saja. Ada pun masjid-masjid ditutup begitu pula tempat-tempat ibadah.
(as Suluk Lima’rifati Duwal al Muluk, 4/88)
Pentingnya bertanya kepada ahlinya
Para dokter, para pakar kesehatan masyakarat, sudah menyampaikan apa yang terjadi. Bahwa penyebaran ini begitu cepat dan membahayakan. Banyak media terjadinya penularan dan yang paling rawan adalah saat berdekatan dengan sesama manusia, berkerumun, bersentuhan, termasuk menyentuh apa yang mereka sentuh. Hal ini terjadi di rumah ibadah, pasar, mal, cafe, sekolah, acara-acara warga dan keluarga, pernikahan, dsb. Maka, wajar jika mereka merekomendasikan untuk stay at home. Dari sinilah para ulama mengeluarkan fatwa, baik MUI, AL AZHAR, dan lainnya.
Tidak cukup hanya kajian dalil dan kitab, tapi juga lebih dari itu, bukalah mata terhadap teriakan korban di luar, teriakan paramedis, dan masukan para pakar, agar fatwa itu lebih kuat dan menghujam sesuai realita.
Oleh karena itu, Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
في تغير الفتوى واختلافها يحسب تغير الأزمنة والأمكنة والأحوال والنيات والعوائد
“Pasal tentang perubahan fatwa dan perbedaannya yang disebabkan perubahan zaman, tempat, kondisi, niat, dan tradisi.”
Lalu Beliau berkata:
هذا فصل عظيم النفع جدا وقع بسبب الجهل به غلط عظيم على الشريعة أوجب من الحرج والمشقة وتكليف ما لا سبيل إليه ….
“Ini adalah pasal yang sangat besar manfaatnya, yang jika bodoh terhadap pasal ini maka akan terjadi kesalahan besar dalam syariat, mewajibkan sesuatu yang sulit dan berat, serta membebankan apa-apa yang tidak pantas dibebankan..”
(I’lamul Muwaqi’in, 3/3)
Demikian. Wallahul Muwafiq ilaa Aqwamith Thariq.[ind]