Chanelmuslim.com – Khalifah Ali menangis sedih melihat Umul Mu’minin Aisyah dalam sekedup untanya, memimpin pasukan pemberontak.
Ketika melihat Thalhah dan Zubair, pembela-pembela Rasulullah, berada di tengah-tengah pasukan pemberontak, Ali memanggil keudanya. Keduanya memenuhi panggilan Khalifah Ali.
Ali berkata kepada Thalhah, “Wahai Thalhah, pantaskah engkau membawa istri Rasulullah untuk berperang, sedangkan istrimu sendiri kau tinggalkan di rumah?”
Lalu ia berkata kepada Zubair, “Wahai Zubair, dengan nama Allah, tidakkah engkau ingat, ketika kita berada di satu tempat, lalu Rasulullah lewat dan berkata kepadamu, “Wahai Zubair, tidakkah engkau suka kepada Ali?’ Engkau menjawab, ‘Tidak ada alasan bagiku untuk tidak suka kepada sepupuku dan saudara seagama.’ Lalu beliau bersabda, “Wahai Zubair, demi Allah, kamu akan memeranginya, dan engkau berada di pihak yang zalim.’
Zubair menjawab, ‘Yah, sekarang aku ingat. Kemarin aku lupa. Demi Allah aku tidak akan memerangimu.’
Thalhah dan Zubair segera menarik diri dari perang saudara ini. Apalagi ketika melihat ‘Ammar bin Yasir berada di pihak Ali. Keduanya teringat sabda Rasulullah SAW kepada ‘Ammar, “Kamu akan dibunuh kelompok pemberontak.” Maka, jika ‘Ammar terbunuh dalam pertempuran ini dan keduanya berada di pihak yang melawan Ali, berarti keduanya termasuk pemberontak.
Thalhah dan Zubair keluar dari pertempuran meskipun nyawa sebagai taruhannya. Namun, mereka mati dengan tenang karena sudah berada di jalan yang benar.
Zubair dibuntuti seorang laki-laki bernama Amru bin Jarmuz. Saat Zubair sedang shalat, Amur bin Jarmuz membunuhnya. Sedangkan Thalhah mati dipanah oleh Marwan bin Hakam.
Seperti yang kami sebutkan, terbunuhnya Utsman telah mendatangkan keresahan dalam jiwa Thalhah. Meskipun ia tidak ikut dalam pertempuran itu dan tidak pernah setuju dengan peperangan itu, ia ikut mendukung demonstrasi, sebelum ia tahu bahwa demonstrasi itu akan berkembang buruk dan menjadi kerusuhan berdarah.
Ketika ia berpihak pada pasukan penentang Khalifah Ali di padang Jamal, menuntut diadilinya para pembunuh Khalifah Utsman, ia berharap tindakannya itu menjadi penghapus kesalahan yang senantiasa meresahkannya.
Sebelum pertempuran dimulai, ia berdoa dengan suara lirih dan dengan tetesan air mata, “Ya Allah ambillah sekarang balasan kesalahannku terhadap Utsman hingga Engkau ridha kepadakku.”
Ketika ia dan Zubair ditemui Ali, seperti yang telah kita ceritakan, ia tersadar dan mengetahui duduk permasalahannya. Setelah itu, keduanya meninggalkan medan perang.
Akan tetapi, mati sebagai syahid telah disediakan untuk mereka berdua. Ya…, syahid sudah menjadi hak Thalhah. Di mana dan kapan pun ia berada, ia akan mendapatkannya. Bukankah Rasulullah telah bersabda tentang Thalhah, “Inilah dia orang yang akan mengorbankan nyawanya. Barangsiapa yang ingin menyaksikan seorang syahid yang berjalan di muka bumi, lihatlah Thalhah.”
Tokoh ini telah sampai pada impiannya dan Perang Jamal pun berakhir.
Ummul Mu’minin Aisyah menyadari bahwa ia telah tergesa-gesa dalam menghadapi persoalan itu. Ia tinggalkan Bashrah dan pergi ke Tanah Suci Mekah lalu ke Madinah. Ia tidak ingin campur tangan lagi dalam pertempuran ini. Khalifah Ali menyiapkan semua perbekalan yang dibutuhkan Ummul Mu’minin dalam perjalanannya.
Khalifah menshalati semua orang yang gugur dalam pertempuran itu, yang berada di pihaknya atau yang berada di pihak lawan.
Sesuai pemakaman Thalhah dan Zubair, ia berdiri melepas keduanya dengan kata-kata indah,
“Sesungguhnya aku benar-benar berharap masuk bersama Thalhah, Zubair dan Utsman, dalam golongan yang difirmankan Allah, ‘Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipandipan.’ (Al-Hijr : 47)”
Tatapan lembut matanya menyapu kuburan keduanya. Ali berkata, “Kedua telingaku ini telah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Thalhah dan Zubair menjadi tetanggaku di surga.”
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom