ChanelMuslim.com – Seorang muslim seharusnya tidak selesai pada tingkatan ikhlas dalam pengertian mukhlis. Kita harus mencari pengembangan, karena ikhlas, sangat dalam pembahasannya, seperti mengupas bawang; ternyata di dalam kulit, masih ada banyak kulit. Jadi jangan terkecoh dengan kulit luar. Demikian disampaikan Rektor Institut PTIQ Nasaruddi Umar saat memberi Tausiyah pada Buka Bersama, Menag dengan para pejabat eselon III Kemenag Pusat, di Rumah Dinas Widya Chandra, Jakarta Selatan, Kamis (2/7).
“Seorang mukhlis, mengenal betul, merencanakan amal perbuatannya, mengingat apa yang dilakukan, mengaudit kebajikannya, in-put, uot-put dan lain sebagainya. Semua yang dilakukan sudah bagus. Meski demikian, ada yang lebih bagus, yaitu Mukhlas,” ujar Nasaruddin yang juga mantan Wamenag.
Selanjutnya, ujar Nasaruddin, Iblis kemudian bersumpah, pasti aku akan menggoda anak cucu Adam, illa min ‘ibaadikal mukhlasin. Kecuali orang-orang yang Mukhlas. Jadi, seorang mukhlis, masih mungkin digoda oleh Iblis. Mukhlis, menurut Nasaruddin, mungkin berhasil menghijab dirinya dari dosa besar dan kecil. Namun, belum mampu memproteksi dari apa yang disebut dengan hijab-hijab putih. Jadi ada dua hijab, hitam dan putih. Hijab hitam atau gelap adalah larangan-larangan dan dosa. Sedang hijab putih adalah Hijab nurani sesuatu yang menyilaukan.
“Hijab putih lebih berbahaya dari hijab hitam. Sering kali, hijab putih menjatuhkan orang pintar dan besar. Sedang hijab hitam biasanya menjatuhkan orang-orang awam dan kecil. Jadi, berhati-hatilah, orang bisa jatuh karena kegelapan, orang juga bisa jatuh karena kesilauan. Mukhlis hanya mampu memproteksi hijab hitam, tapi belum mampu memproteksi hijab putih. Hanya mukhlas lah yang mampu memproteksinya,” Imbuh Nassaruddin.
Nassaruddin dalam uraiannya kemudian memberi contoh tentang hijab putih. Ia mencontohkan orang yang menikmati pujian. Selama dalam lipatan kalbu kita masih menikmati pujian, berarti kita masih dalam tataran mukhlis, belum ke ranah mukhlas. Karena orang mukhlas sedih jika mendapat pujian.
Ya Allah, yang lain aku bisa lulus, tapi saya paling takut dengan ujian ini berupa pujian ini. Kadang kita tidak ngomong, tapi kita bangga. Kadang mulut bilang, saya tidak ada apa-apanya, itu semua berkat teman-teman semua, tapi di balik pengungkapan itu, kita sesungguhnya menikmati.
“Ketika kita mengatakan ikhlas, itu pertanda kita tidak ikhlas. Karena sesungguhnya keikhlasan sejati itu, adalah diam,” tandasnya.
Nassaruddin melihat, akal adalah aktor intelektual dibalik langgengngya kita pada posisi mukhlis, dan sulit naik menjadi mukhlas. Dan tingkatan yang sama dengan Mukhlas adalah yang Syakur, sedang Mukhlis adalah Syukur. Menurutnya, Syukur adalah mensyukuri seluruh pemberian nikmat Allah. Sedang syakur adalah mensyukuri apa pun yang datang dari Allah, termasuk nikmat, penyakit, musibah, kekecewaan, apa pun itu, karena Syakur sudah haqqul yakin, tidak mungkin Allah SWT memberikan sesuatu yang buruk.
“Jadi, selama kita masih menggerutu saat dimarahi atasan, selama kita masih dendam, maka kita belum termasuk Syakur,” tutur Nasaruddin yang produktif menulis esai dakwah di sejumlah media.
Nassaruddin melihat, orang yang sudah dalam tingkatan mukhlas dan syakur, akan mendapat nikmat tak terhingga. Ia memberi tamtsil, Seperti janin atau mayat. Janin untuk makan, tidak perlu menangis, begitu pula mayat jika hendak dikubur, sudah sangat pasrah. Atau biasa kita sebut Tahfid, dan di bawah tahfid ada Taslim, yakni seperti bayi yang ketika hendak makan, butuh teriakan kecil. Sedang tingkatan terendah adalah Tawakal. Di mana, ketika kita hendak mendapatkan sesuatu, kita harus berkeringat terlebih dahulu.
“Semoga, Ramadhan yang berkah ini, mampu membawa kita dari ranah tawakal menuju ke alam tahfid,” ujar Nassaruddin.(kemenag)