ChanelMuslim.com – Kesalahpahaman tentang Perbedaan Aturan Syariat antara Laki-Laki dan Wanita
Maraknya isu wanita saat ini sering kali dikaitkan dengan ketertindasannya sebagai manusia. Anggapan ini dituduhkan kepada aturan agama yang kebanyakan membedakan wanita dengan laki-laki.
Mereka menganggap bahwa wanita di dalam agama sering kali diletakkan di bawah laki-laki, sehingga menjadi pembelaan laki-laki untuk menindas atau bersikap sewenang-wenang terhadap wanita.
Baca Juga: Persamaan Laki-Laki dan Wanita dalam Islam
Kesalahpahaman tentang Perbedaan Aturan Syariat antara Laki-Laki dan Wanita
Beberapa aturan agama yang sering kali menjadi rujukan mereka atas tuduhan di atas adalah masalah kesaksian, warisan, diat (tebusan), politik atau kepemimpinan, dan kefeminiman.
Mari kita bedah satu persatu-satu kesalahpahaman ini:
Kesaksian
Kesaksian disini seringkali disalahpahami, mereka menganggap bahwa Islam merendahkan wanita. Hal ini berkaitan dengan ayat tentang hutang-piutang yang mensyaratkan kehadiran saksi untuk menuliskan hutang.
Penulisan hutang dilakukan ini sebagai antisipasi jika seseorang yang berhutang lupa saat ditagih.
Saksi yang dihadirkan dalam urasa ini minimal berjumlah 2 orang laki-laki, namun jika tidak ada bisa 1 laki-laki dan 2 orang wanita. Dengan syarat ini banyak yang mengira bahwa wanita direndahkan kualitas ingatannya maka 1 laki-laki sebanding dengan 2 orang wanita.
Tentu anggapan ini tidak benar, Dr. Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa perbedaan dalam kesaksian tersebut tidak dimaksdukan untuk mengabaikan keberadaan dan integritas wanita, tetapi disebabkan oleh karakter alamiah wanita dan kecenderungan khususnya yang dapat menghambat penyelesaian perkara. Padahal wanita harus fokus terhadap perannya sebagai ibu rumah tangga.
Ayat tentang hutang piutang ini bisa kita lihat di surah al-Baqarah: 282
“Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi bisa mengingatkannya.”
Ayat ini lebih fokus pada cara dokumentasi penulisan masalah hutang-piutang bukan pada status kesaksian laki-laki dan wanita.
Dengan ini, maka proses hutang-piutang melewati pengamanan yang ketat dan maksimal, adanya bukti yang tertulis dan saksi-saksi yang fokus serta cermat tanpa disibukkan dengan hal-hal yang dapat menghambat kesaksiaannya.
Ayat di atas juga berfungsi untuk memperbaiki sistem sebelumnya yang tidak memperhitungkan persaksian wanita sama sekali.
Lagipula jika kesaksian laki-laki dan wanita di atas karena kelemaham wanita maka tidak mungkin Allah menetepkan kesaksian yang sama diantara keduanya dalam perkara lain yaitu perkara tuduhan zina oleh seorang suami kepada istrinya.
Jika seorang suami menuduh istrinya berzina maka ia harus bersumpah dengan menyebut nama Allah. Perkara ini tercantum dalam surah an-Nur: 6 sampai 9.
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.
Dengan ini kesaksian antara wanita dan laki-laki sama, keduanya akan mendapat murka Allah jika berdusta dengan sumpah atas nama Allah.
Bersambung… [Ln]