JEJAK Islam di Negeri Van Oranje ditulis oleh Ervina Maulida (ibu rumah tangga, pernah tinggal di Leiden, Belanda).
Sore itu, keluarga kami sedang dalam perjalanan pulang dari rumah nenek di Bandung Utara, karena sudah masuk waktu ashar, kami menepi di masjid Cipaganti untuk sholat.
Ketika hendak pulang, Neilan melihat plakat prasati peletakan batu pertama masjid ini dan terheran-heran, karena rasanya nama perancangnya familiar walau sepertinya bukan orang Indonesia.
Baca Juga: Jejak Islam dan Populasinya yang Terus Tumbuh di Selandia Baru
“Yah, kok nama perancangnya kayak nama orang Belanda, ya?” tanya Neilan keheranan.
Ayah melihat tulisan di prasasti yang menyatakan bahwa Masjid Cipaganti mulai dibangun 11 Syawal 1351 (7 Februari 1933) dan diresmikan pada 11 Syawal 1352 (27 Januari 1934).
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Bupati Bandung Raden Tumenggung Hassan Soemadipradja, dengan perancang Masjid Cipaganti yakni Prof. Schoemaker.
“Iya, betul sekali, arsiteknya orang Belanda, C.P. Wolff Schoemaker. Ayah pernah baca, Bapak ini awalnya orang Katolik lalu pindah agama ke Islam.
Waktu zaman kolonial dulu, jarang sekali orang Belanda yang memeluk Islam, tapi dari yang sedikit itu, Bapak ini salah satunya.
Nama muslim Schoemaker adalah Kemal.
Menariknya, ia juga menjabat sebagai asisten professor dalam bidang sejarah arsitektur dan ornament di Technische Hoogeschool Bandoeng, sekarang Institut Teknologi Bandung,” jawab Ayah membuat mata Neilan berbinar.
“Masya Allah, aku merinding, Yah. Jadi ingat dulu, di Belanda juga banyak muslimnya. Senang deh, ternyata muslim asal Belanda yang ikut serta merancang masjid Cipaganti,” seru Neilan.
Jejak Islam di Negeri Van Oranje
“Betul sekali. Bisa dibilang populasi muslim di Belanda salah satu yang terbanyak di Eropa. Dari 17 juta penduduk, 5% di antaranya Muslim, bahkan Islam adalah agama terbesar kedua di Belanda setelah Kristen.”
“Kenapa bisa begitu, Yah?” sahut Neilan semakin penasaran.
“Sebenarnya, awal mula Islam di Belanda ini panjang sekali. Bisa dibilang semua bermula ketika banyak pedagang dari Ottoman dan Persia masuk dan berdagang di kota-kota Pelabuhan di Belanda.
Mereka pun mulai menetap di sana dan diizinkan untuk menjalankan agama sesuai keyakinan.
Dulu Belanda dikenal sebagai “the place for Turk, Christian, heathen, Jew; staple place for sects and schisms” karena semua agama dan sekte bisa hidup berdampingan dengan damai. Bagian yang paling menarik justru ada ketika Belanda masih di bawah kekuasaan Spanyol.
Saat itu, ada koin yang disebut Geuzen medals yang diterbitkan oleh Belanda di abad ke-16 dan berbentuk bulan sabit.
Di koin tersebut tertulis “Liever Turks dan Paaps” atau “Rather Turkish than Papist”. Kamu tahu apa artinya?” tanya Ayah yang disambut gelengan kepala Neilan tanda tak tahu.
“Jadi, ketika di bawah kekuasaan Spanyol selama hampir 100 tahun, Belanda sudah dalam situasi putus asa, sehingga mereka mencari bantuan dari banyak tempat tanpa memedulikan agama mereka.
William of Orange, raja Belanda dulu, mengirim duta besarnya ke kekaisaran Ottoman untuk meminta bantuan.
Bisa dibilang, koin itu merupakan slogan yang digunakan oleh Belanda sebagai wujud pemberontakan terhadap Spanyol.
Kalimat di koin itu menyatakan pilihan Belanda bahwa mereka lebih senang hidup di bawah kepemimpinan raja Muslim Ottoman dibanding di bawah raja Katolik Spanyol.
Kenapa demikian? Karena pemimpin Islam di Turki dulu memberikan toleransi beragama di dalam wilayah Negara yang mereka kuasai, sedangkan raja Spanyol tidak mentoleransi agama Protestan.
Makanya Belanda membuat pernyataan tersebut di koin itu, seru kan sejarahnya?” ucap Ayah sambil tersenyum lebar. Neilan mengangguk setuju. Ayah pun menambahkan.
“Di abad ke-15 dulu, waktu pasukan Belanda menerobos pengepungan Spanyol di Leiden, kota yang kita pernah tinggali dulu, pasukan Belanda bahkan membawa bendera Turki ke Leiden.
Dan di waktu lain, saat ada pengepungan di Zeeland, 1.400 budak Turki dibebaskan oleh Maurice van Orange dari tawanan tentara Spanyol.
Mereka dibebaskan, dibayarkan pemulangannya ke Turki oleh pemerintah Belanda, dan sebagai bentuk penghormatan atas perlawanan budak Turki dalam berperang melawan Spanyol, salah satu tanggul di Belanda di masa itu juga dinamakan dengan “Turkiye”.
Jadi wajar kalau orang Turki banyak sekali di Belanda, karena sejarah hubungan keduanya selama hampir 400 tahun sangat kental.”
Baca Juga: Al-Qur’an, Thomas Jefferson, dan Awal Islam di Amerika Serikat
“Gelombang muslim selanjutnya berasal dari sejarah penjajahan Belanda di Indonesia dan Suriname, yang juga menjadi salah satu penyebab ribuan muslim dari dua Negara tersebut bermigrasi ke Belanda.
Apalagi setelah perang dunia kedua, saat itu Belanda sedang mengalami kebangkitan ekonomi, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja.
Akhirnya, banyak perjanjian bilateral dilakukan hingga akhirnya banyak orang dari Turki, Maroko, Afghanistan, Tunisia, yang migrasi ke Belanda untuk bekerja, hingga akhirnya menetap dan melahirkan generasi muslim di Belanda.”
“Wah, seru sekali Ayah. Aku mau baca-baca lebih banyak lagi tentang penjajahan Spanyol di Belanda. Sejarah memang seperti tidak ada habisnya, Yah,” sahut Neilan bersemangat.
Ayah pun mengangguk dan mengacungkan dua jempol tanda setuju.
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat.
Barangsiapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”
(Al-Baqarah (2): 256).[ind]
Sumber: Jejak Muslim di Lima Benua (Kumpulan Cerita Anak). Nazra Devi, dkk. Wonderland Publisher: 2021.