ChanelMuslim.com – Islam dan Budaya ditulis oleh M. Zullifan, Dosen Bahasa dan Budaya Arab Universitas Indonesia. Ketika Islam hadir di sebuah wilayah, maka ada dua mainstream dalam menyikapi budaya dan adat istiadat masyarakat setempat.
Pertama, Adaptif. Kelompok ini melihat bahwa Budaya dan adat istiadat masyarakat merupakan sesuatu yang alami sebagai bentuk ekspresi umat manusia.
Kelompok ini cenderung untuk menghormati bahkan melestarikan unsur-unsur kebudayaan yang ada. Adapun jika ada aspek yang bertentangan dengan nilai Islam, mereka berusaha memodifikasinya agar terjadi akulturasi budaya hingga tercipta nilai keharmonisan di masyarakat.
Adapun dalil yang dipakai adalah:
لَا يَنْبَغِي الْخُرُوجُ مِنْ عَادَاتِ النَّاسِ؛ مُرَاعَاةً لَهُمْ وَتَأْلِيفًا لِقُلُوبِهِمْ، إلَّا فِي الْحَرَامِ إذَا جَرَتْ عَادَتُهُمْ بِفِعْلِهِ (مطالب أولي النهى في شرح غاية المنتهى )
“Tidak sepantasnya keluar (menyelisihi) adat kebiasaan masyarakat. Hal ini untuk menghormati mereka disamping untuk ta’liful qulub (menautkan hati), kecuali pada hal-hal yang jelas haram jika dilakukan.” (Kitab Matahalib Ulin Nuha)
يُكْرَهُ مُخَالَفَةُ أَهْلِ بَلَدِهِ فِي اللِّبَاسِ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَلْبَسَ مَلَابِسَ بَلَدِهِ.. (شرح منظومة الآداب)
“Makruh (tidak disukai) menyelisihi sebuah masyarakat/negeri dalam hal berpakaian, dan sebaiknya memakai pakaian sesuai (adat) negeri tersebut (Syarah Mandhumah al-Adab).
Sikap ini terutama tercermin dalam dakwah Wali Songo yang justru menjadikan adat istiadat dan Budaya masyarakat Jawa sebagai sarana dakwah, alih-alih memerangi dan menganggapnya sebagai musuh Agama.
Contohnya berbagai upacara seperti Sekaten, Grebeg Maulid, Grebeg Suro, Seni karawitan, wayang kulit, musik Gamelan, baju batik, 7 bulanan, tahlilan, arisan, lagu Macapat hingga sistem Kalender Jawa era Mataram Islam yang memodifikasi kalender Hijriyah.
Termasuk dalam sikap melihat peninggalan-peninggalan sejarah Peradaban sebelumnya seperti Candi, arca, prasasti, dan seterusnya tidak dilihat secara hitam putih dari kacamata aqidah bahwa hal tersebut bentuk sesembahan selain Allah (Thaghut), tapi dilihat dalam perspektif sejarah dan pelestarian budaya.
Baca Juga: Mengikuti Budaya Orang Kafir Kelak Diusir dari Telaga Nabi SAW (Part 1)
Islam dan Budaya
Kedua, antipati. Mereka adalah kelompok yang menolak mengadopsi budaya dan adat istiadat masyarakat setempat dengan alasan “semua yang tidak ada di zaman Nabi adalah bidah”.
Bagi kelompok ini, Islam sudah sempurna dan semua sudah ada di Alquran dan Hadits. Syariah sudah mengatur semuanya. Cukuplah al-Quran dan hadits shahih sebagai rujukan. Tema Budaya atau adat istiadat bukan kajian keislaman mereka.
Adapun dalil yang mereka yakini adalah:
لَوْ كانَ خَيْرًا لَسَبَقُونَ إِلَيْهِ …
(sekiranya perbuatan itu baik, tentulah para Shahabat telah mendahulai kita mengamalkannya).
Singkat kata, Budaya dan adat istiadat senantiasa dibenturkan dengan aqidah.
Alhasil, Kelompok ini mudah membidahkan semua aktivitas yang berhubungan dengan adat-istiadat atau Budaya, meski di dalamnya sudah dimasukkan ajaran Islam.
Prinsip kembali pada Al-quran dan sunnah yang dipraktikkan secara harfiah pada akhirnya menjadikan mereka lebih cenderung mengadopsi Budaya Arab (karena memang secara de facto Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan shahabat adalah orang Arab dengan segala ekspresi kemanusiaannya).
Adapun praktik tersebut mulai dari cara berpakaian (mereka lebih memilih gamis dari pada batik, penggunaan niqab/cadar), panggilan/kunyah (dari nama Indonesia menjadi Abu x atau ummu y), pengharaman musik, seni rupa dan drama , hingga pengharaman sistem sosial kemasyarakatan seperti ormas, demokrasi, dst.
Pengharaman atas unsur budaya tersebut kelihatannya simple tapi sebenarnya membawa dampak yang serius bagi warisan Budaya bangsa.
Tatkala ada wisata ke Candi, mereka anggap itu bagian dari ikut ritual peribadatan di tempat ibadah Agama lain, maka harus dicegah. Padahal itu bagian dari pelestarian warisan Budaya Dunia yang diakui UNESCO.
Ketika ada patung zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, maka dihukumi Haram. Repotnya jika mereka berkuasa, bisa tidak bersisa peninggalan-peninggalan arkeologis yang merupakan warisan sejarah bangsa.
Kasus lain, pengharaman musik. Hal Itu membawa konsekuensi hilangnya warisan lagu-lagu daerah dari seluruh wilayah Indonesia, termasuk berbagai alat musik daerah yang masuk warisan Budaya Dunia seperti Angklung, Kecapi, sasando Rote, Kulintang, dan ribuan kekayaan Seni lainya di tanah air.
Kamu ikut mainstream mana?[ind]