FILM horor nampaknya tidak pernah surut. Meski menakutkan, tapi selalu digemari dan dicari. Ada perbedaan mencolok antara film horor asia termasuk Indonesia dengan produksi negeri Barat. Apa itu?
Film merupakan cerminan budaya suatu masyarakat. Bisa dibilang, film sebagai potret keadaan sebuah masyarakat yang membuatnya.
Karena itu, selalu ada kekhasan di masing-masing negara tentang film buatan mereka. Meskipun genrenya sama, misalnya horor.
Hantu dan Pembunuhan
Sebelum tahun dua ribuan, umumnya film horor Barat nyaris tidak masuk ke wilayah perhantuan. Yang dimaksud horor oleh Barat bukan tentang hantu. Tapi tentang pembunuhan keji.
Karena itu, film horor Barat lebih cenderung menampilkan darah sebagai indikator seru tidaknya film mereka. Misalnya, pembunuhan berantai, pembunuhan oleh psikopat, manusia serigala, drakula, dan lainnya.
Ini sangat berbeda dengan jenis film horor di Asia termasuk Indonesia. Di umumya Asia, horor diterjemahkan sebagai kemunculan hantu dengan iringan keseraman dan kesadisannya.
Masalahnya, hantu di masing-masing negara berbeda. Di Cina, hantu dimunculkan sebagai sosok vampir dengan seragam necis warna biru dengan kuku yang panjang.
Di Indonesia dan Malaysia, hantu dimunculkan dengan sosok pocong atau hantu lokal lainnya seperti kuntil anak, tuyul, siluman, dan lainnya. Di Thailand lain lagi.
Perbedaan versi hantu ini menjadikan film horor Asia tidak bisa go internasional. Mungkin menarik untuk kalangan lokal, tapi sangat asing untuk belahan dunia lain seperti di negeri Barat yang tidak percaya dengan hantu.
Lambat laun, di awal tahun dua ribuan, film horor Asia mulai mengurangi versi hantu lokal mereka. Tapi tetap tidak murni hanya film pembantaian dan pembunuhan.
Sosok-sosok hantu mereka ubah seuniversal mungkin. Tidak lagi tentang pocong yang terasa aneh untuk negeri non muslim, tapi tentang hantu yang asal seram saja.
Kreasi Horor Barat
Karena Barat tidak begitu tertarik dengan sosok hantu, film horor mereka menjadi amat monoton jika hanya tentang pembunuhan dan darah.
Mereka pun mengolah film horor bernuansa scientific. Yaitu, adanya kemunculan alien yang bengis, haus darah, dan lainnya.
Tapi tetap saja terasa dangkal karena nuansa scientific yang dimunculkan begitu minim. Tidak jelas dari mana asal muasal alien tersebut, dan seperti apa proses perjalanan mereka dari luar angkasa ke bumi.
‘Ujug-ujug’ mereka tiba di bumi dan melakukan pembantaian terhadap manusia. Tapi film ya tetap film. Penonton kalau sudah disuguhi sinematografi yang canggih, kadang kehilangan daya kritisnya.
Horor Barat pasca Era Dua Ribuan
Film horor Barat akhirnya keluar dari pakemnya. Mereka sadar betul kalau tujuan utama mereka bisnis alias jualan sebanyak-banyaknya.
Karena itulah, mereka mulai melirik film-film horor Asia. Kenapa film horor di Asia termasuk Indonesia begitu laris manis.
Akhirnya, mereka mulai mengadopsi sosok hantu di fokus cerita. Tidak lagi melulu tentang darah dan pembunuhan.
Namun tetap saja terasa dangkal. Hal ini karena pembuat film Barat seperti bingung tentang filosofi hantu: kenapa ada hantu, dan dari mana asal muasal mereka.
Akhirnya, film hantu versi Barat lebih kepada film psikologis. Yaitu, tentang kelainan kejiwaan seseorang tentang sebuah dampak kematian.
Pendek kata, tetap saja versi horor Barat menafikan adanya hantu. Melainkan, hanya sekadar kelainan kejiwaan seseorang.
Tapi pertanyaannya, apa memang hantu sebagai jelmaan orang yang sudah meninggal itu benar-benar ada? Atau jangan-jangan, hanya kelainan kejiwaan seperti yang diversikan horor Barat.
Ada atau tidaknya hantu, rasanya tidak lagi jadi masalah untuk penonton di Asia. Yang penting, mereka ingin ditakut-takuti dengan khayalan agar bisa melupakan kenyataan hidup yang jauh menakutkan. [Mh]