ChanelMuslim.com- Politik sebenarnya tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia. Siapa pun mereka. Namun, karena terjadi penyempitan makna politik, hal yang merupakan bagian dari Islam itu pun akhirnya tidak disukai sebagian besar orang. Dan, kebanyakan mereka adalah perempuan. Kenapa?
Ada beberapa hal yang menjadikan umumnya perempuan tidak suka politik. Sebagian mereka bahkan pada tingkat benci bin alergi. Kalau dengar istilah politik, ubun-ubun pun seperti mau pecah. Pusing!
Di antara hal tersebut adalah.
Pertama, politik saat ini cenderung ke arah politik praktis yang dimainkan tidak elegan oleh para politisi. Salah satu tidak elegannya adalah menghalalkan segala cara. Termasuk, berbohong atau setidaknya bermain kata-kata bersayap.
Pada poin ini, politisi menjadi terlihat bukan wajah aslinya. Kalimatnya berputar-putar. Bahkan, sampai pada kebohongan.
“Kapan saya pernah mengatakan seperti itu?” Kalimat itu merupakan di antara contoh yang sering terdengar dari para politisi untuk menutupi janji atau ucapan tentang sesuatu yang pernah ia lontarkan.
Perempuan umumnya tidak suka dengan kata-kata yang bertele-tele. Apalagi bersayap dan sulit dipahami secara pasti. Di sinilah, perempuan akan terbengong-bengong dengan ucapan politisi. Bengong bukan untuk menyimak, tapi bingung si politisi sedang ngomong apa.
Kedua, ada adigium yang tenar dalam dunia politik. Yaitu, tidak ada teman abadi. Tidak ada musuh abadi. Yang ada adalah kepentingan abadi.
Perempuan yang biasa berinteraksi dengan rasa dan ketulusan jiwa, bingung dengan kenyataan dalam politik ini. Bagaimana mungkin seseorang yang pada beberapa bulan lalu dicela-cela, tapi saat ini sudah dianggap seperti saudara: dibela mati-matian. Aneh!
Ketiga, politisi asyik dengan dunianya sendiri. Diskusi dan perhatiannya tak jauh dari suara atau kursi, kekuasaan, intrik-intrik, dan hal lainnya yang sangat elit dan tidak menyentuh dunia nyata yang dihadapi perempuan.
Betapa inginnya perempuan jika dunia nyatanya dibahas dan dicarikan solusi secara kongkrit, bukan basa basi. Antara lain, harga bahan dapur yang lompat-lompat. Suami mereka yang minim pendapatan. Anak-anak yang butuh gizi dan kesehatan yang murah tapi memadai.
Selama politik dan pembicaraan para politisi berputar-putar pada dunia mereka yang elit dan eksklusif, selama itu pula perempuan lebih suka menyimak berita isu para artis daripada menyimak diskusi para politisi.
Keempat, politik sempit menelurkan para politisi yang picik. Mereka begitu ringan mengumbar janji palsu. Dan yang paling parah, para politisi picik itu begitu tanpa merasa berdosanya mencela-cela lawan mereka. Hanya karena beda partai, pilihan, dan sebagainya.
Perempuan dalam sebagian besar porsi hidupnya berhadapan dengan anak-anak. Ia harus tampil lembut, mengayomi, menenangkan, tulus, dan menyenangkan.
Di sinilah terjadi kontradiksi antara dunia yang dilakoni perempuan dengan para politisi picik yang sayangnya begitu dominan dalam diskusi publik.
Politik semestinya menjadi dunia mulia dan menarik untuk siapa pun. Karena di politiklah hajat hidup manusia dikelola. Termasuk dunia perempuan dan keluarga.
Bagi para perempuan, kalau memang politik masih menarik, tak ada salahnya untuk menyelami secara bijak. Tapi kalau memang sudah sangat menyebalkan, bangunlah politik sehat dalam keluarga kita. (mh)