ChanelMuslim.com – Di era media sosial ini membagikan tautan, artikel, status, puisi adalah hal yang lumrah. Jika kita merasa informasi/opini dari teman, tokoh atau bahkan orang lain sesuai dengan pemikiran dan dirasa bermanfaat kita akan membagikannya. Hal ini tentu bukan masalah, jika kita tetap menunjukkan si penulisnya. Lain halnya jika kita kemudian meng-copy tulisannya, mempublisnya di media sosial dan menyatakan seolah-olah itu adalah tulisan asli kita, inilah namanya plagiarisme.
Ada beberapa alasan plagiarisme dalam Islam tidak dibolehkan, diantaranya:
Pertama, plagiarisme sama dengan tidak ikhlas dalam beramal.
Seorang muslim diperintahkan untuk ikhlas dalam semua amal ketaatan dan amal ibadah yang dia lakukan.
“Tidaklah mereka diperintahkan melainkan agar mereka menyembah Allah dalam kondisi memurnikan ibadahnya hanya untuk-Nya dan menjadi orang yang cenderung kepada tauhid” (QS. Al-Bayinah: 5).
Perbuatan mengutip atau plagiat sama dengan mengambil hasil jerih payah orang lain untuk disebarluaskan atas nama dirinya adalah tindakan yang bertolak belakang dengan ikhlas. Karena dengan tindakannya itu berarti dia adalah orang yang menginginkan popularitas dan namanya disebut-sebut oleh banyak orang serta ingin berbangga-bangga dengan sesuatu yang bukan jerih payahnya. Andai dia adalah seorang yang menginginkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pahala akhirat, niscaya dia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak menerima amal yang diklaim sebagai jerih payah sendiri padahal sebenarnya bukan. Jika dia menyadari hal ini, tentu saja dia akan segera menghentikan perbuatannya dan menisbatkan hasil jerih payah seseorang kepada pemiliknya. Jika dia mau melakukan hal ini maka dia akan mendapatkan pahala mengajarkan dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain secara utuh tanpa dikurangi sedikitpun. Ingatlah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan menerima amalan kecuali yang baik.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia sesungguhnya Allah itu maha baik dan Dia tidaklah menerima kecuali yang baik.” (HR. Muslim no.1015).
Kedua dan ketiga, dusta dan membangga-banggakan diri dengan suatu hal yang tidak benar.
Dari Asma, Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang membangga-banggakan diri dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya itu bagaikan seorang yang menutupi seluruh badannya dengan dua kain kepalsuan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyampaikan bahwa Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam menggunakan ungkapan ‘dua kain’ sebagai isyarat bahwa orang tersebut melakukan dua kebohongan, membohongi diri sendiri dan membohongi orang lain. Demikian pula saksi palsu. Dia melakukan dua kezaliman, zalim kepada diri sendiri dan zalim kepada orang yang dirugikan gara-gara persaksian palsunya.” (Fathul Bari, 9:318).
Syaikh Muhammad Jamaluddin al Qasimi mengatakan, “Di antara hal yang sangat jelas bahwa termasuk hal penting dalam karya tulis adalah menisbatkan penjelasan bermanfaat tentang suatu hal, suatu permasalahan, dan keterangan menarik kepada orang yang mengatakannya agar kita termasuk melakukan pemalsuan dan menjaga diri agar tidak tergolong orang yang memakai dua kain kepalsuan. Oleh karena itu, semua permasalahan yang ada dalam kitab ini disandarkan kepada orang yang mengucapkan tanpa mengadakan perubahan sama sekali. Inilah prinsip kami dalam semua keterangan yang kami kumpulkan.” (Qawaid at Tahdits min Funun Mushtholah Hadis, hal. 40).
Keempat, tergolong tindakan pencurian
Isham Al-Hadi mengatakan, “Tatkala banyak komentar tentang kelakuan sebagian orang yang menukil suatu perkataan tanpa menyebutkan siapa yang mengucapkannya, kutanyakan hal ini kepada guruku, Al-Albani, apakah tindakan tersebut tergolong pencurian ataukah bukan?
Jawaban beliau, “Betul, itu tergolong pencurian dan tentu saja tidak diperbolehkan oleh syariat karena itu termasuk berbangga dengan sesuatu yang tidak dimiliki, tadlis alias manipulasi dan membuat sangkaan bahwa perkataan tersebut atau simpulan pembahasan tersebut adalah buah karyanya.”
Lantas kukatakan, “Sebagian orang beralasan dengan perbuatan ulama terdahulu yang menukil ucapan orang lain tanpa menyebutkan siapa yang mengatakan.”
Jawaban Al-Albani, “Apakah ulama dahulu membanggakan diri dengan kutipan tersebut? Tidak pantas bagi seorang penuntut ilmu untuk membanggakan kutipan perkataan orang lain. Wahai ustadz, ketahuilah bahwa mengutip perkataan orang lain itu ada dua macam.
Pertama, nukilan yang semua orang tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah ucapannya semisal ucapanku atau selain diriku, “Fulan lemah atau tsiqah.” Semua orang yang membacanya tahu bahwa nukilan tersebut bukanlah murni ucapanku. Hal semacam ini tidaklah mengapa kita mengutipnya tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya.
Kedua, perkataan yang merupakan hasil telaah dan kajian yang mendalam tidak boleh dikutip tanpa menyebutkan siapa yang mengatakannya, siapa pun yang melakukannya (tidak boleh pen.).” (Al-Albani Kama ‘Araftuhu, karya Isham Musa Hadi hal. 74-75).
Kelima dan keenam, dicabutnya keberkahan ilmu dan tidak syukur atas nikmat ilmu
Ketika menjelaskan hadis ‘Agama itu nasihat (menghendaki kebaikan untuk pihak lain), An-Nawawi mengatakan, “Di antara bentuk menghendaki kebaikan untuk orang lain adalah menisbatkan keterangan yang menarik kepada yang mengatakannya. Siapa saja yang melakukan hal itu maka ilmu dan keadaannya akan diberkahi. Sedangkan orang yang membuat image bahwa ucapan orang lain yang dia kutip seakan-akan adalah kata-katanya itu sangat layak ilmunya tidak bisa diambil manfaatnya dan keadaannya tidak mendapatkan limpahan berkah. Adalah di antara tradisi keilmuan para ulama adalah menisbatkan keterangan ilmiah yang menarik kepada orang yang pertama kali mengucapkannya.” (Bustanul ‘Arifin, hal. 4, Syamilah).
Suyuthi mengatakan, “Di antara tanda keberkahan ilmu dan wujud syukur atas nikmat ilmu adalah menisbatkan ilmu kepada yang mengucapkannya. Abu Abdillah Ash-Shuri mengatakan, Abdul Ghani bin Said bercerita kepadaku, “Ketika buku karyaku sampai ke tangan Abdullah Al-Hakim dia mengucapkan terima kasih atas pemberian buku tersebut dan dia bercerita bahwa dia mendiktekan buku tersebut kepada banyak orang. Di antara isi surat terima kasihnya kepadaku adalah pengakuan bahwa dia mendapatkan banyak tambahan ilmu dengan sebab buku tersebut dan setiap tambahan ilmu yang dia dapatkan dia selalu sampaikan bahwa dia mendapatkannya dariku.”
Al-Abbas bin Muhammad Ad-Duri mengatakan bahwa beliau mendengar Abu Ubaid mengatakan, “Di antara wujud syukur karena mendapatkan tambahan ilmu adalah mengatakan dulu aku tidak mengetahui hal ini dan itu. Aku tidak punya ilmu tentangnya sampai akhirnya fulan memberi penjelasan demikian dan demikian kepadaku.” Inilah bentuk syukur atas nikmat ilmu. Kukatakan (yaitu Suyuthi) ‘Oleh karena itu, tidaklah aku mengutip ucapan orang dalam buku-buku karyaku kecuali kesebutkan ulama yang pertama kali mengucapkannya plus buku yang menyebutkannya.” (Al-Muzhir fi Ulum Al-Lughah, 2:273).
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha menyebutkan adanya kejahatan dan dosa yang banyak yang dilakukan oleh orang yang mencuri hasil jerih payah orang lain, lalu diklaim sebagai jerih payahnya sendiri. Menurut beliau, tindakan ini adalah pencurian yang lebih jelek dari pada pencurian harta.
Inilah mengapa kita sebaiknya berhati-hati mencantumkan segala hal yang bukan karya kita agar tak tergelincir pada perbuatan yang mendekati dosa. (w/pengusahamuslim)