APAKAH boleh menjamak shalat saat menjadi saksi pilkada?
Ketika menjalankan tugasnya pada waktu Pilkada, sering kali para saksi tidak bisa meninggalkan tempat pemungutan atau penghitungan suara karena dikhawatirkan terjadi kecurangan. Apakah para saksi mendapatkan udzur syar’i untuk menjamak shalatnya?
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan bahwa para saksi memiliki uzur syara’ untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, baik secara taqdim maupun ta’khir, jika dikhawatirkan terjadi kecurangan pada waktu pemungutan atau penghitungan suara.
Hal itu karena beberapa alasan sebagai berikut:
1. Para saksi mengemban amanah untuk menjaga suara rakyat dari kemungkinan terjadinya kecurangan pada waktu pemungutan atau penghitungan suara.
Oleh karena itu, para saksi wajib menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul serta janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui. (Al-Anfal:27).
Dari Anas bin Malik, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
لَا إِيمَانَ لِمَنْ لَا أَمَانَةَ لَهُ، وَلَا دِينَ لِمَنْ لَا عَهْدَ لَهُ
Tidak beriman orang yang tidak amanah dan tidak beragama orang yang tidak memegang janji. (Ahmad, No. 12383).
2. Kecurangan bisa terjadi sejak awal pemungutan hingga penetapan hasil penghitungan suara.
Hal itu mengakibatkan rusaknya kualitas pemilu dan terjadinya kemudaratan pada tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Kaidah fiqhiyah mengatakan:
الضرر يزال
Kemudaratan harus dihilangkan. (As-Subki, Al-Asybah wa An-Nadzair, 1/41).
3. Ada hadis sahih yang membolehkan seseorang menjamak shalatnya antara Zhuhur dan Asar atau Magrib dan Isya tidak dalam perjalanan serta tanpa khauf (takut) dan hujan.
Ibn Abbas mengatakan:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjamak antara Dzuhur dan Asar, Magrib dan Isya di Madinah, tidak karena takut (khauf) dan tidak pula karena hujan. (Muslim no. 705).
4. Menurut Imam An-Nawawi, banyak ulama yang membolehkan jamak bagi orang yang tidak sedang melakukan perjalanan (safar) karena suatu hajat dengan syarat tidak menjadikannya sebagai kebiasaan.
Hukum Menjamak Shalat Karena Menjadi Saksi Pilkada
Imam An-Nawawi mengatakan:
وَذَهَبَ جَمَاعَةٌ مِنْ الْأَئِمَّة إِلَى جَوَاز الْجَمْع فِي الْحَضَر لِلْحَاجَةِ لِمَنْ لَا يَتَّخِذهُ عَادَة، وَهُوَ قَوْل اِبْن سِيرِينَ وَأَشْهَب مِنْ أَصْحَاب مَالِك … وَاخْتَارَهُ اِبْن الْمُنْذِر وَيُؤَيِّدهُ ظَاهِر قَوْل اِبْن عَبَّاس: أَرَادَ أَلَّا يُحْرِج أُمَّته
Sekelompok para imam membolehkan jamak ketika tidak bepergian apabila seseorang memiliki hajat, namun tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan. Hal itu merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari mazhab Maliki .…Pendapat ini dipilih pula oleh Ibn Mundzir (ulama mazhab Syafi’i). Hal itu didukung oleh zahir ucapan Ibn Abbas bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghendaki supaya tidak menyulitkan umatnya. (Imam An-Nawawi, Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 5/219).
Menurut Ibn Hajar, pendapat ini juga dianut oleh sebagian ulama ahli hadis. (Ibn Hajar, Fath Al-Bari, 2/24).
5. Dalam mazhab Imam Ahmad, kebolehan menjamak shalat bahkan diberikan secara lebih luas.
Orang yang sibuk seperti sedang memasak dan membuat roti, karena takut gosong, dibolehkan untuk menjamak shalatnya.
Baca juga: Hukum Golput dalam Islam
Imam Ibn Taimiyah berkata:
وأوسع المذاهب في الجمع مذهب أحمد، فإنه جوز الجمع إذا كان شغل كما روى النسائي ذلك مرفوعا إلى النبي ﷺ إلى أن قال: يجوز الجمع أيضا للطباخ والخباز ونحوهما ممن يخشى فساد ماله.
Mazhab yang paling luas membolehkan jamak shalat adalah mazhab Imam Ahmad. Dia membolehkan jamak karena kesibukan sebagaimana hadis yang diriwayatkan An -Nasa’i dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (marfu’) hingga (Imam Ahmad) berkata, “Boleh juga menjamak (shalat) bagi juru masak, pembuat roti, dan sebagainya, ketika takut terjadinya kerusakan pada harta.” (Ibn Taimiyah, Al-Fatawa Al-Kubra, 5/350).
6. Jika saksi lebih dari satu sehingga memungkinkan dapat menunaikan kewajiban shalat secara bergantian serta kondisinya wajar, terkendali, dan tidak ada kekhawatiran terjadinya kecurangan, maka shalat wajib ditunaikan pada waktunya masing-masing tanpa menjamaknya.
Hal itu berdasarkan kaidah:
الحكم يدورُ مع العلة وجودا وعدَماً
Hukum berkisar pada ilatnya. Ada ilat ada hukum dan tidak ada ilat tidak ada hukum. (Al-Hushani, Kifayah Al-Akhyar, 461).[Sdz]