USTAZ saya ingin bertanya. Saya mendengar bahwa ada perbedaan pendapat terkait kebolehan cicilan emas. Dari sisi yang membolehkan cicilan emas, apa saja dalilnya? Mohon penjelasan Ustaz.
Ustaz Dr. Oni Sahroni menjelaskan bahwa produk cicilan emas, di mana nasabah membeli emas di bank syariah, secara angsur dengan margin menggunakan akad jual-beli murabahah.
Misalnya, si A membeli 1 gram emas logam seharga Rp 1,2 juta dengan tiga kali angsuran menggunakan akad jual-beli murabahah.
Produk cicilan emas tersebut diperkenankan berdasarkan referensi berikut.
Pertama, maksud ungkapan ‘emas’ dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersebut adalah emas sebagai alat bayar (bukan keberadaan emas sebagai komoditas).
Lebih detailnya akan dijelaskan dalam dua poin berikut.
1. Hadis yang dimaksud adalah hadis dari ‘Ubadah bin ash-Shamit, “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.” (HR Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Dan hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dari Umar bin Khatthab, “(Jual beli) emas dengan perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.” (HR Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Menurut nash hadits tersebut, penukaran (jual-beli) emas dengan emas itu harus tunai dan dengan nominal yang sama.
Jika diperjualbelikan secara kredit atau dengan nilai yang berbeda, maka itu terlarang karena termasuk riba.
Misalnya si A tukar emas 1 gram dengan emas 1 gram itu harus tunai dan nilai emasnya sama.
2. Tetapi Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ibnu Qayyim memaknai emas dalam hadis dengan merujuk pada illat-nya (bukan dzahir atau tekstualnya).
Di mana maksud ungkapan ‘emas’ dalam hadis tersebut bukan setiap emas, tetapi hanya emas yang difungsikan sebagai alat bayar (tsaman) merujuk pada fungsi emas pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dijadikan sebagai alat bayar (naqd).
Ibnu Rusyd mengutip pendapat tersebut:
وَوَافَقَ الشَّافِعِيُّ مَالِكًا فِي عِلَّةِ مَنْعِ التَّفَاضُلِ وَالنَّسَاءِ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، أَعْنِي أَنَّ كَوْنَهُمَا رُؤُوْسًا لِلْأَثْمَانِ وَقِيَمًا لِلْمُتْلَفَاتِ
Hukum Melakukan Cicilan Emas
Imam Syafi’i sependapat dengan pendapat Imam Malik bahwa ‘illat larangan jual-beli emas dan jual-beli perak itu harus tunai dan sama bahwa keduanya sebagai alat tukar.” (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, hal 481).
Berdasarkan pendapat tersebut, maka makna hadis adalah larangan jual-beli emas secara kredit itu hanya berlaku saat emasnya sebagai alat bayar.
Saat emas tidak lagi sebagai alat bayar, tetapi sebagai komoditas yang diperjualbelikan, maka tidak termasuk dalam larangan dalam hadis tersebut.
Kedua, di Indonesia, emas saat ini adalah komoditas, bukan alat bayar berdasarkan kebiasaan masyarakat (‘urf).
Di mana masyarakat pada umumnya berbelanja, membeli, dan menjual barang atau jasa dengan alat tukar atau alat bayar seperti rupiah.
Mereka tidak lagi membeli, berbelanja, dan menjual dengan emas.
Pada saat yang sama mereka menjadikan emas sebagai komoditas yang diperjualbelikan.
Oleh karena itu, Bank Indonesia sebagai otoritas tidak menjadikan emas sebagai alat bayar (naqd).
Baca juga: Harga Cicilan Lebih Besar daripada Tunai, Bagaimana Hukumnya?
Ketiga, pendapat sebagian ulama bahwa emas yang dicetak dan direproduksi seperti cincin dan lainnya adalah komoditas bukan alat bayar.
Sebagaimana penjelasan berikut.
1. Pendapat Ibnu al-Qayyim:
أَنَّ الْحِلْيَةَ الْمُبَاحَةَ صَارَتْ بِالصَّنْعَةِ الْمُبَاحَةِ مِنْ جِنْسِ الثِّيَابِ وَالسِّلَعِ، لاَ مِنْ جِنْسِ اْلأَثْمَانِ، فَلاَ يَجْرِي الرِّبَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ اْلأَثْمَانِ
Bahwa saat emas dijadikan sebagai perhiasan, maka telah dikategorikan sebagai barang (sil’ah) sehingga boleh diperjualbelikan secara tidak tunai. (I’lam al-Muwaqqi’in, 2/247).
2. Pendapat Syekh Sulaiman al-Mani’
أَنَّ الثَّمَنِيَّةَ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ مُوْغَلَةٌ فِيْهِمَا، إِلاَّ مَا أَخْرَجَتْهُ الصِّنَاعَةُ عَنْ مَعْنَى الثَّمَنِيَّةِ
Bahwa fungsi emas dan perak yang lebih dominan itu sebagai alat tukar (harta ribawi), kecuali emas atau perak yang sudah dibentuk menjadi perhiasan, maka tidak lagi sebagai harga atau uang. (Lihat Buhuts fi al-Iqtishd al-Islami, hal 322).
3. Syekh Prof Dr Rafiq Yunus al-Mishri menjelaskan, para ulama ahli hadis dan fikih berbeda pandangan tentang maksud emas dalam hadis tersebut.
Pendapat pertama, keberadaannya sebagai emas, apapun fungsinya, maka emas, baik perhiasan, logam mulia, dan mata uang itu dikategorikan emas dalam hadis.
Pendapat kedua, keberadaannya, saat emas sebagai alat pembayaran (seperti emas pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan seluruh mata uang). (Lihat Rafiq Yunus al-Mishri, Al-Jami’ fi Ushul ar-Riba, hal 132).
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka Fatwa DSN MUI No 77/DSN-MUI/VI/2010 tentang Jual-Beli Emas secara Tidak Tunai memutuskan bahwa jual-beli emas secara kredit atau angsur atau tidak tunai itu dibolehkan.[Sdz]