“APA landasan dibolehkannya menjual barang dimana harga dengan pembayaran secara cicilan itu lebih besar daripada harga dengan pembayaran tunai?” tanya seseorang kepada Ustaz DR. Oni Sahroni
Berikut jawab Ustaz DR. Oni Sahroni:
Di antara beberapa jenis jual beli yang dilakukan secara kredit (tidak tunai) yang dipraktikkan saat ini adalah jual beli rumah dalam produk KPR di bank syariah, jual beli kendaraan dalam produk leasing syariah, cicilan emas di lembaga keuangan syariah, jual beli barang elektronik di toko atau melalui lembaga keuangan syariah, serta jual beli peralatan rumah tangga secara cicilan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat.
Perlu ditegaskan dalam bahasan ini yang dimaksud dengan jual kredit adalah jual barang secara kredit. Contohnya, handphone jika tunai dijual Rp 5 juta, tetapi jika tidak tunai harganya Rp 6 juta.
Bukan yang dimaksud dengan bahasan ini adalah kredit uang, misalnya, kredit atau pinjam Rp 1 juta, nanti dibayar Rp 1,2 juta karena yang kedua ini adalah kredit ribawi yang diharamkan.
Baca Juga: Hukum Melebihkan Uang Administrasi dalam Suatu Urusan
Harga Cicilan Lebih Besar daripada Tunai, Bagaimana Hukumnya?
Syeikh ‘Athiyah Saqr dalam ensiklopedinya Ahsanul Kalam fi al-Fatawa wal Ahkam (1/87) menjelaskan dalil atau referensi kebolehan harga jual beli secara cicilan yang lebih besar dari harga tunai sebagai berikut.
(1) Konsensus dari kesepakatan seluruh ulama (ijma’), di mana masyarakat Muslim sejak periode awal (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam) itu melakukan transaksi tidak tunai dengan harga lebih besar tanpa ada yang mengingkarinya dan tanpa ada yang memprotesnya. Kebiasaan ini menjadi konsensus atau ijma’ bahwa transaksi ini dibolehkan.
(2) Sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bahwa ia memerintahkan Abdullah bin Amru bin al-‘Ash untuk menyiapkan pasukan, kemudian ia membeli satu unta dengan dua unta secara tidak tunai.
(3) Jual secara tangguh dengan harga yang lebih besar dari harga tunai ini persis seperti transaksi salam. Contohnya seseorang yang membutuhkan modal bisnis untuk jualan, ia buka PO (pre order) dengan harga Rp 5 juta.
Ia terima dana tersebut secara tunai, kemudian ia belikan barang dengan harga di bawah Rp 5 juta, kemudian ia kirim ke pembeli. Dengan transaksi ini ia mendapatkan selisih harga.
Seperti seseorang yang membutuhkan likuid atau dana tunai, ia menjual motornya kepada si B yang akan diserahterimakan dua pekan kemudian. Tetapi ia kemudian menerima dana yang lebih kecil dari harga penyerahan.
Dalam transaksi ini kendaraan tersebut memiliki dua harga: harga pada saat transaksi dan harga pada saat penyerahan motor tersebut yang kedua belah pihak telah sepakat.
(4) Sebagaimana kaidah yang berlaku umum dalam bab muamalah bahwa selama tidak ada dalil yang melarang maka dibolehkan.
Termasuk dalam bab ini, di mana tidak ada dalil baik nash dalam Alquran ataupun hadis shahih dan sarih yang melarang penjualan komoditas dengan harga tidak tunai yang lebih besar daripada harga tunai.
(5) Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam melarang dua transaksi dalam satu transaksi adalah sammak, salah satu tokoh dalam sanad, ia adalah laki-laki yang menjual dan berkata; jika dibeli secara tidak tunai, maka harganya sekian. Tetapi jika dibeli dengan harga tunai, maka harganya sekian.
Imam Syafi’i menafsirkan dengan ungkapannya; saya jual ini kepadamu secara tunai seharga seribu atau tidak tunai hingga satu tahun seharga dua ribu, silakan kamu mau memilih harga yang mana sesuai kesepakatan kita.
Ibnu Rif’ah menukil pendapat al-Qhadi bahwa ini terjadi dalam cash bahwa ia menerima perjanjian yang masih tidak jelas. Sedangkan jika seandainya mengatakan saya setuju saat pembeliannya dengan harga seribu tunai atau dua ribu secara tidak tunai, maka itu sah.
Maksud hadis tersebut, penjual menawarkan dua harga pada pembeli. Harga pertama adalah harga tunai, harga kedua adalah harga angsur yang lebih besar dari harga pertama.
Kemudian pembeli dan penjual sepakat pilihannya adalah harga cicil yang lebih besar, maka kesepakatan ini dibolehkan, baik harga tidak tunai itu dibayar sekaligus di akhir atau diangsur/dicicil.
Menurut Syekh ‘Athiyah Saqr, Ibnu Taimiyah telah membahas tuntas bahasan ini dalam bukunya Syifa’ul qalil fii hukmi ziadati ats-tsaman li mujarrati at-ta’jil (Nailul Authar 5/161).
Kebolehan jual secara kredit dengan harga lebih besar daripada harga tunai sebagaimana dijelaskan dalam dalil-dalil tersebut di atas, juga menjadi pilihan fatwa DSN MUI dalam fatwanya, yaitu:
“Pembayaran harga dalam jual beli boleh dilakukan secara tunai (al-bai’ al-hal), tangguh (al-bai’ al-mu’ajjal), dan angsur/bertahap (al-bai’ bi al-taqsith).
Harga dalam jual beli yang tidak tunai (bai’ al-mu’ajjal atau bai’ al-taqsith) boleh tidak sama dengan harga tunai (al-bai’ al-hal).” (Fatwa DSN MUI No 110/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Jual Beli).
Kebolehan tersebut juga menjadi Keputusan Lembaga Fikih OKI, di mana jual beli secara kredit diperkenankan sebagaimana keputusan lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam Nomor 51 (2/6) [1] dalam pertemuan VI pada 20 Maret 1990 di Jeddah tentang Jual Beli Kredit.
(a) Harga dalam jual tidak tunai itu boleh lebih besar dari harga jual tunai, sebagaimana boleh menyebutkan harga tunai dan harga tidak tunai sejumlah angsuran tertentu, dan transaksi tersebut sah jika telah menetapkan hati memilih salah satunya.
Namun, jika ragu-ragu dan belum ada kesepakatannya antardua harga tersebut, jual belinya tidak sah.
(b) Dalam jual beli tidak tunai, tidak boleh ada kesepakatan dalam akad bahwa ada bunga atas angsuran yang terpisah dari harga tunai yang dikaitkan dengan waktu, baik kedua belah pihak sepakat dengan persentase bunga ataupun dikaitkan dengan tingkat bunga saat itu.
(Majalah lembaga Fikih Islam, edisi VI, Juz 1, hal 193).
Wallahu a’lam