USTAZ, saya mau bertanya. Apa fiqihnya dalam Islam seorang istri pergi keluar rumah membawa anak-anak karena ada masalah rumah tangga lebih memilih keluar rumah dengan alasan supaya lebih tenang. Hanya karena masalah finansial dalam rumah tangga? Dan apakah ada batasan hari pisah keluar rumah seperti kondisi diatas ustaz? Apa diperbolehkan ustaz sikap keluar rumah istri tersebut dalam fiqih Islam?
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan, jika istri keluar rumah dengan izin suaminya, dan suami pun mengizinkan maka tidak apa-apa.
Tapi, jika tanpa izin, bahkan suami juga tidak tahu kepergian istrinya bersama anak-anaknya.
Maka, ini adalah nusyuz (durhaka), haram, kecuali ada alasan darurat.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Seperti istri dan anak yang kelaparan sementara suami tidak peduli (tidak menafkahi) atau suami yang mengancam mencelakai istri dan anaknya.
Untuk kasus yang ditanyakan apakah keluarnya istri dalam rangka mencari nafkah karena darurat, atau semata-mata ingin tenang karena belanja dari suami yang masih kurang?
Imam Khathib asy Syarbini menjelaskan:
والنشوز يحصل بخروجها من منزل زوجها بغير إذنه، لا إلى القاضي لطلب الحق منه، ولا إلى اكتسابها النفقة إذا أعسر بها الزوج، ولا إلى استفتاء إذا لم يكن زوجها فقيها ولم يستفت لها
Hukum Istri Keluar dari Rumah
Baca juga:
Nusyuz (pembangkangan) terjadi ketika seorang istri keluar dari rumah suaminya tanpa izinnya, kecuali untuk pergi ke pengadilan untuk menuntut haknya, atau untuk mencari nafkah jika suaminya tidak mampu memberikannya, atau untuk meminta fatwa jika suaminya bukan seorang ahli fikih dan tidak memintakan fatwa untuknya. (Al Iqna’ fi Alfazh Abi Syuja’, jilid. 2, hal. 433).
Imam Ar Ruhaibani mengatakan:
ويحرم خروجها: أي الزوجة: بلا إذنه، أي: الزوج، أو بلا ضرورة كإتيان بنحو مأكل، لعدم من يأتيها به
Dan haram baginya keluar, yaitu istri, tanpa izin suaminya, atau tanpa ada keperluan mendesak seperti pergi untuk mendapatkan makanan karena tidak ada orang lain yang dapat membawakannya (Mathalib Ulin Nuha, jilid. 5, hal. 271).[Sdz]