HUKUM beli emas online.
Ustadz, Saya mau bertanya. Saat ini, banyak yang membeli emas (logam mulia atau perhiasan) secara online di marketplace. Bagaimana pandangan fikih terkait hal ini?
Ustadz Dr. Oni Sahroni, MA menangapi pertanyaan ini.
Ada ketentuan yang harus dipenuhi dalam jual dan beli emas secara online.
Jual beli emas secara online itu diperkenankan, dengan ketentuan, jelas emas yang dibeli, berapa kadarnya, kapan dan di mana diserahterimakan (ijab qabul) dan emasnya ada (jika dibeli tunai) atau bisa diserahterimakan (jika tidak tunai).
Ketentuan tersebut bisa dijelaskan dalam poin-poin berikut.
Pertama, emas yang dibeli harus ada (jika dibeli tunai), atau bisa diserahterimakan sesuai waktunya (jika tidak tunai), baik fisiknya ataupun bukti kepemilikannya (nonfisik), sebagaimana keputusan lembaga Fikih OKI nomor 53 6/4.
Serah terima nonfisik tersebut bisa dilakukan dalam beli emas secara online, di antaranya pada saat penjual menerima bukti atau notifikasi pengiriman transfer uang sebagai harga dari pembeli.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Begitu pula, emas dikategorikan dimiliki oleh pembeli saat bukti kepemilikan emas (yang legal) telah diterima pembeli.
Oleh karena itu, membeli emas kepada perusahaan yang resmi atau teregistrasi, diawasi oleh otoritas, serta mendapatkan sertifikat dari DSN MUI, seperti bank syariah, menjadi pilihan karena aman dan halal juga untuk memitigasi dari penyimpangan, seperti membeli emas secara online, tetapi ternyata emasnya tidak ada atau tidak bisa diserahterimakan atau tidak sesuai kriteria.
Keniscayaan untuk memilih mitra dan penjual yang amanah itu juga sesuai tuntunan hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Dari Ibnu Umar berkata: Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda, “Jika engkau berjual beli, katakanlah ‘Janganlah melakukan tipu daya’.” (Muttafaq ‘alaihi).
Kedua, jelas kadar yang dibeli, kapan dan bagaimana diserahterimakan (ijab qabul).
Jika transaksi online telah memuat poin-poin tersebut dan disepakati, maka telah terjadi ijab qabul yang sah.
Baca juga: Hukum Menggunakan Rice Cooker Berlapis Emas
Hukum Beli Emas Online
Lebih lanjut, Standar Syariah Internasional AAOIFI Nomor 38 tentang at-Ta’amulat al-Maliyah bil-Internet, Keputusan Lembaga Fikih OKI nomor 52 3/6 dan keputusan Nadwah Baraka yang diselenggarakan 3 Desember tahun 2000, di Makkah menjelaskan, transaksi secara online itu dikategorikan dalam satu majelis (tempat akad) atau berbeda itu dibagi dalam dua kondisi:
1. Jika media transaksi itu gambar atau suara, seperti video call, telepon, dan media sejenis, dikategorikan hadir dan bertemu dalam satu tempat (baina hadhiraini).
Karena, pembeli dan penjual hadir dan bertemu online dalam satu waktu.
2. Jika media yang digunakan adalah tulisan seperti melalu surat elektronik dan sarana tulisan sejenis, dikategorikan beda majelis dan waktu karena waktu bertransaksi itu tidak sama atau ada jeda waktu antara ijab dan qabul.
Ketiga, jika emas yang dibeli tersebut dititip ke penjual, harus dijelaskan jenis dan posisi emas yang menjadi milik pembeli.
Jika satu lempengan emas dimiliki oleh beberapa orang nasabah, diperjelas apakah setiap pemilik memiliki bagian tertentu dari fisik emas atau kepemilikannya berdasarkan porsi.
Kedua-duanya diperkenankan sebagaimana Standar Syariah Internasional AAOIFI No 57 tentang Emas.
Keempat, jika beli tidak tunai, pembeli diberikan hak untuk membatalkan atau melanjutkan transaksi saat emas yang diterimanya tidak sesuai pesanan agar hak pembeli dan penjual bisa dipenuhi dan tidak dirugikan.
Dalam fikih dikenal dengan khiyar ru’yah yang melekat dan menjadi hak pembeli karena barang yang dibeli tidak dilihat.
Secara umum, pembelian emas secara online ini sesuai maqashid syariah (hifzdul mal), yaitu memudahkan untuk memiliki emas dan berbisnis, sebagaimana tuntunan umum dalam hadits Rasulullah, “Allah memberikan rahmat kepada hamba yang mempermudah jika menjual, mempermudah jika membeli.” (HR. Bukhari).
Tidak ada nash yang sharih (jelas) dan sahih, begitu pula konsensus para ulama yang melarang transaksi ini.
Oleh karena itu, transaksi ini diperkenankan dalam Islam. Wallahu A’lam.[Sdz]