Di Ji’ranah hari itu ada kecewa. Ada kebijakan Rasulullah yang tak dipahami.
Sangat manusiawi kelihatannya. Orang-orang Anshar merasa disisihkan selepas perang Hunain yang menggemparkan.
Mereka telah berjuang total.
Mereka berperang di sisi Rasul dengan penuh kecintaan.
Tapi, harta rampasan perang lebih banyak dibagikan pada orang-orang Quraisy dan kabilah-kabilah Arab lainnya.
Sementara pada mereka, seakan hanya memperoleh sisa.
Padahal, semua orang tahu, sebagaimana Rasul pun juga mengetahuinya. Merekalah yang berjuang dengan sepenuh iman ketika orang-orang Quraisy dan kabilah Arab itu lari tunggang langgang pada serangan pertama pasukan Malik bin Auf An-Nashry.
Maka, hari itu di Ji’ranah, ada yang kasak-kusuk, “Demi Allah, Rasulullah telah bertemu kaumnya sendiri!”
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Kalimat itu jelas sarat kekecewaan.
Hari itu juga utusan Anshar, Sa’d bin Ubadah menemui Rasulullah.
Hatinya gusar. Ia ingin segera sampaikan apa yang dirasakan sahabat Anshar pada beliau.
Ada yang mengganjal di hati, tapi (mungkin) mereka anggap tak layak untuk disampaikan. Sa’d bin Ubadahlah yang memberanikan diri.
“Ya Rasulullah, dalam diri kaum Anshar ada perasaan mengganjal terhadap engkau, perkara pembagian harta rampasan perang. Engkau membagikannya pada kaummu sendiri dan membagikan bagian yang teramat besar pada kabilah Arab, sementara orang-orang Anshar tidak mendapat bagian apap pun.”
Kita menangkap protes itu disampaikan dengan lugas tapi tetap santun.
Ada kecewa tapi iman mereka mencegahnya dari sikap yang merendahkan.
Ada ganjal di hati, tapi bukan amarah tak terkendali.
“Lalu, kamu sendiri bagaimana Sa’d?” tanya Sang Rasul.
Dari Ji’ranah Kita Belajar Mengelola Kecewa (1)
“Wahai Rasulullah, aku tidak punya pilihan lain, selain harus bersama kaumku,” jawab Sa’d menjelaskan perasaannya. Jujur. Apa adanya.
Ia tidak menutup-nutupi bahwa dirinya juga kecewa. Rasulullah lalu meminta semua orang Anshar dikumpulkan.
Konsolidasi sederhana segera digelar. Kekecewaan mungkin saja wajar muncul, tapi ia tak dibiarkan berkembang liar.
Dalam pertemuan terbatas itu, Rasulullah mengawali pembicaraan.
“Bukankah dulu aku datang dan kudapati kalian dalam kesesatan, lalu Allah berikan kalian petunjuk? Bukankah dulu saat aku datang kalian saling bertikai, lalu Allah menyatukan hati kalian? Bukankah dulu saat aku datang, kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mengayakan kalian?”
Baca juga: Kisah Sahabat Rasulullah Bertemu Dajjal (1)
Orang-orang Anshar itu membenarkan. Mereka memang sedang dilanda kecewa, tapi lihatlah betapa mereka memilih diam, dan tidak balik menyerang dengan kata-kata kasar dan argumentasi yang dapat diungkapkan.
Disebabkan iman sematalah mereka bersikap hormat pada Sang Rasul, meski mereka teramat kecewa.
“Demi Allah, jika kalian mau kalian bisa mengatakan, ‘Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan didustakan, lalu kami membenarkan. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan lemah, lalu kami menolongmu. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan terusir, lalu kami memberikan tempat. Engkau dulu datang kepada kami dalam keadaan miskin, lalu kami yang menampungmu.’”[Sdz]