BAGAIMANA Fatwa Para Imam Ahlus Sunnah tentang Musyarakah atau berpartisipasi dalam Pemerintahan zalim dan non-Islami?
Ustaz Farid Nu’man Hasan menjelaskan persoalan ini sebagai berikut.
Pada Prinsipnya Terlarang
Prinsip dasarnya, aktivis Islam tidak dibenarkan masuk menjadi bagian dari pemerintahan dan penguasa yang zalim atau non Islami.
Sebab, kehadirannya di pemerintahan tersebut pada jabatan apa pun sama juga ikut saling tolong menolong dalam dosa dan kejahatan. (QS. Al Maidah: 2), atau minimal dia dianggap ridha terhadap kezaliman pemerintahan tersebut.
Dalam hadits Rasulullah ﷺ bersabda:
«اسْمَعُوا، هَلْ سَمِعْتُمْ أَنَّهُ سَيَكُونُ بَعْدِي أُمَرَاءُ؟ فَمَنْ دَخَلَ عَلَيْهِمْ فَصَدَّقَهُمْ بِكَذِبِهِمْ وَأَعَانَهُمْ عَلَى ظُلْمِهِمْ فَلَيْسَ مِنِّي وَلَسْتُ مِنْهُ وَلَيْسَ بِوَارِدٍ عَلَيَّ الحَوْضَ،َ»
“Dengarkanlah, apakah kalian telah mendengar bahwa sesudahku nanti akan ada para pemimpin? Siapa yang masuk kepada mereka, lalu membenarkan kedustaan mereka dan mendukung kezaliman mereka, maka dia bukan golonganku, aku juga bukan golongannya. Dia juga tak akan menemuiku di telaga.” (HR At Tirmidzi no. 2259, An Nasa’i no. 4208, Shahih)
baca juga: Terkait Fatwa Salam Lintas Agama, MUI: Islam Mengajarkan Toleransi Tapi Ada Batasnya
Kapan Diperbolehkan?
Namun demikian, larangan tersebut tidak mutlak. Larangan berlaku bagi yang keberadaannya di pemerintahan tersebut sebagai pendukung kezalimannya, atau untuk memperkaya diri.
Ada pun yang keberadaannya di situ bertujuan mulia dalam rangka Tahshilul Mashalih (menghasilkan maslahat) dan Taqlilul Mafasid (meminimalisasi kerusakan) bagi umat Islam, maka para ulama mengatakan hal itu diperbolehkan.
Syaikh Nashir Sulaiman Al ‘Umar mengatakan bahwa sistem pemerintahan di dunia hanya ada tiga saja:
1. Tatanan pemerintahan Islam yang adil
2. Tatahan pemerintahan Islam yang zalim
3. Tatanan pemerintahan dengan hukum kafir
Bagaimanakah hukum partisipasi seorang muslim yang shalih, aktivis, ke dalam sistem no 2 dan 3? Apakah terlarang ataukah mesti diperinci?
– Terlarang jika jutru memperkuat kezaliman dan kekafiran
– Terlarang jika hanya untuk memperkaya diri
Lalu bagaimana jika untuk mengimbangi dan melawan kebatilan dan kezaliman mereka? Atau, untuk menyelamatkan hak-hak kaum muslimin yang berpotensi hilang jika dikuasai orang kafir.
Fatwa Musyarakah dan Penjelasan Para Ulama Islam
Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdissalam Rahimahullah (Sulthanul Ulama di masanya, bermazhab Syafi’i)
Beliau berkata:
وَلَوْ اسْتَوْلَى الْكُفَّارُ عَلَى إقْلِيمٍ عَظِيمٍ فَوَلَّوْا الْقَضَاءَ لِمَنْ يَقُومُ بِمَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ ، فَاَلَّذِي يَظْهَرُ إنْفَاذُ ذَلِكَ كُلِّهِ جَلْبًا لِلْمَصَالِحِ الْعَامَّةِ وَدَفْعًا لِلْمَفَاسِدِ الشَّامِلَةِ ، إذْ يَبْعُدُ عَنْ رَحْمَةِ الشَّرْعِ وَرِعَايَتِهِ لِمَصَالِحِ عِبَادِهِ
“Seandainya orang-orang kafir memimpin suatu daerah yang luas, lalu mereka (orang-orang) kafir menyerahkan kekuasaan kepada orang yang bisa menunaikan maslahat secara umum bagi kaum muslimin, maka hal itu bisa dilaksanakan karena nampak jelas bisa mendatangkan maslahat umum dan menolak kerusakan secara sempurna, walaupun jauh dari rahmat syariat dan pemeliharaannya terhadap maslahat hamba-Nya. (Qawa’id al Ahkam fii Mashalih al Anam, Juz. 1, Hlm. 128)
Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah
Beliau berkata tentang kaidah penting sebagai kerangka berpikirnya:
وَفِي أَنَّ الشَّرِيعَةَ جَاءَتْ بِتَحْصِيلِ الْمَصَالِحِ وَتَكْمِيلِهَا وَتَعْطِيلِ الْمَفَاسِدِ وَتَقْلِيلِهَا وَأَنَّهَا تُرَجِّحُ خَيْرَ الْخَيْرَيْنِ وَشَرَّ الشَّرَّيْنِ وَتَحْصِيلِ أَعْظَمِ الْمَصْلَحَتَيْنِ بِتَفْوِيتِ أَدْنَاهُمَا وَتَدْفَعُ أَعْظَمَ الْمَفْسَدَتَيْنِ بِاحْتِمَالِ أَدْنَاهُمَا
“Bahwa syariat datang untuk menghasilkan maslahat dan menyempurnakannya, dan menghilangkan mafsadat serta meminimalisasinya.
Syariat juga menguatkan yang terbaik di antara dua kebaikan, dan memilih keburukan yang lebih ringan di antara dua keburukan.
Serta menghasilkan mashlahat terbesar di antara dua maslahat dengan mengabaikan maslahat yang lebih ringan, dan syariat juga menolak mafsadat yang lebih besar di antara dua mafsadat, dengan memilih resiko yang lebih ringan di antara keduanya.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, Juz. 4, Hlm. 241)
Lalu masih di halaman yang sama, beliau berkata lagi:
وَمِنْ هَذَا الْبَابِ تَوَلِّي يُوسُفَ الصِّدِّيقَ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ لِمَلِكِ مِصْرَ بَلْ وَمَسْأَلَتُهُ أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ وَكَانَ هُوَ وَقَوْمُهُ كُفَّارًا كَمَا قَالَ تَعَالَى : { وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ } الْآيَةَ وَقَالَ تَعَالَى عَنْهُ : { يَا صَاحِبَيِ السِّجْنِ أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ } { مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ } الْآيَةَ وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ مَعَ كُفْرِهِمْ لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ لَهُمْ عَادَةٌ وَسُنَّةٌ فِي قَبْضِ الْأَمْوَالِ وَصَرْفِهَا عَلَى حَاشِيَةِ الْمَلِكِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَجُنْدِهِ وَرَعِيَّتِهِ وَلَا تَكُونُ تِلْكَ جَارِيَةً عَلَى سُنَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَعَدْلِهِمْ وَلَمْ يَكُنْ يُوسُفُ يُمْكِنُهُ أَنْ يَفْعَلَ كُلَّ مَا يُرِيدُ وَهُوَ مَا يَرَاهُ مِنْ دِينِ اللَّهِ فَإِنَّ الْقَوْمَ لَمْ يَسْتَجِيبُوا لَهُ لَكِنْ فَعَلَ الْمُمْكِنَ مِنْ الْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَنَالَ بِالسُّلْطَانِ مِنْ إكْرَامِ الْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ مَا لَمْ يَكُنْ يُمْكِنُ أَنْ يَنَالَهُ بِدُونِ ذَلِكَ وَهَذَا كُلُّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ : { فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ .
“Dari sisi inilah, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam menjadi bendahara negeri Mesir, bahkan beliau memintanya kepada Raja agar beliau dijadikan bendahara negeri, padahal saat itu sang Raja dan kaumnya adalah kafir, sebagaimana yang Allah Ta’ala firmankan:
“Dan Sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu Senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, ..” (QS. Al Mu’min (40): 34)
“Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?
Apa yang kamu sembah selain Allah tiada lain kecuali hanya (menyembah) Nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya ..” (QS. Yusuf (12): 39-40)
Dapat dimaklumi bahwa dengan kekafiran yang ada pada mereka, maka itu mengharuskan mereka memiliki kebiasaan dan cara tertentu dalam mengambil dan menyalurkan harta kepada Raja, keluarga raja, tentara dan rakyatnya.
Tentu cara itu tidak sesuai dengan kebiasaan para nabi dan utusan Allah.
Namun bagi Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tidak memungkinkan untuk menerapkan apa yang ia inginkan berupa ajaran Allah karena rakyat tidak menghendaki hal itu.
Akan tetapi, Nabi Yusuf ‘Alaihissalam tetap melakukan apa-apa yang bisa dilakukannya, berupa keadilan dan perbuatan baik.
Dengan kekuasaan itu, ia dapat memuliakan orang-orang beriman di antara keluarganya, suatu hal yang tidak mungkin dia dapatkan tanpa kekuasaan itu.
Semua itu termasuk dalam firman Allah Ta’ala: “Bertaqwalah kepada Allah semampu kalian.” (QS. At Taghabun (64): 16) …” (Ibid)
Demikianlah pandangan cerdas Imam Ibnu Taimiyah tentang fatwa musyarakah.
Lalu renungkanlah ….. dengan dalil yang lugas dan kaidah yang jelas, beliau merekomendasikan partisipasi dengan pemerintahan yang jelas-jelas rajanya adalah kafir yang menggunakan undang-undang kafir pula di mana mereka punya sistem sendiri yang tidak mungkin dihindari Nabi Yusuf ‘Alaihissalam, lalu dengan partisipasi itu bertujuan menghasilkan maslahat dan mencegah mudharat.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di Rahimahullah
Beliau berkata:
ومنها أن الله يدفع عن المؤمنين بأسباب كثيرة قد يعلمون بعضها وقد لا يعلمون شيئا منها وربما دفع عنهم بسبب قبيلتهم أو أهل وطنهم الكفار كما دفع الله عن شعيب رجم قومه بسبب رهطه وأن هذه الروابط التي يحصل بها الدفع عن الإسلام والمسلمين لا بأس بالسعي فيها بل ربما تعين ذلك لأن الإصلاح مطلوب على حسب القدرة والإمكان
فعلى هذا لو ساعد المسلمون الذين تحت ولاية الكفار وعملوا على جعل الولاية جمهورية يتمكن فيها الأفراد والشعوب من حقوقهم الدينية والدنيوية لكان أولى من استسلامهم لدولة تقضي على حقوقهم الدينية والدنيوية وتحرص على إبادتها وجعلهم عمَلَةً وخَدَمًا له
نعم إن أمكن أن تكون الدولة للمسلمين وهم الحكام فهو المتعين ولكن لعدم إمكان هذه المرتبة فالمرتبة التي فيها دفع ووقاية للدين والدنيا مقدمة والله أعلم
“Dari ayat ini, Allah Ta’ala membela orang-orang beriman dengan sebab yang banyak, yang sebagiannya telah mereka ketahui atau sama sekali mereka tidak ketahui.
Di antaranya Allah menolong mereka karena faktor kesamaan suku atau tanah air dengan mereka para kuffar sebagaimana yang dialami nabi Syu’aib.
Allah Ta’ala menolongnya karena ikatan tersebut. Karena ikatan itu pula (yakni ikatan kesamaan suku dan tanah air) Allah Ta’ala akan menolong Islam dan kaum muslimin, ini tidak apa-apa dilakukan, bahkan hal itu bisa menjadi wajib karena melakukan Ishlah (perbaikan) adalah tuntutan yang harus dilakukan sejauh kemampuan dan kemungkinan.
Oleh karena itu, upaya kaum muslimun yang hidup di bawah naungan wilayah kuffar, dan mereka bekerja untuk mengubah keadaan menjadi negeri yang demokratis bagi individu dan masyarakat agar mereka bisa menikmati hak-hak agama dan dunia mereka, itu semua lebih utama dibanding menyerahkan semua urusan mereka kepada orang kafir, baik urusan agama, dunia, urusan pengaturan ibadah dan semua kebutuhan mereka.
Benar, jika mungkin kaum musliminlah sebagai pengendali Negara dan pemerintahnya, tetapi jika tidak bisa, maka yang bisa kita lakukan harus kita lakukan dalam rangka melindungi agama dan dunia.”
(Syaikh Abdurrahman As Sa’di, Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Manan, Juz. 1, Hlm. 388)
Syaikh Nashir Sulaiman Al ‘Umar Hafizhahullah
Syaikh Nashir Sulaiman al Umar berkata dalam salah satu fatwa musyarakah dalam pemerintahan yang non islami, yang berjudul Dhawabith al Musyarakah fil Majalis an Niyabiyah (Patokan Berpartisipasi dalam Majelis Perwakilan):
علماً أن الأصل في المشاركة هو الجواز، والمنع طارئ لأسباب وقرائن تحفّ بالأمر عند تطبيق القواعد المشار إليها آنفاً.
وما يستأنس به في هذا الباب هو مشروعية الجهاد مع كل بر وفاجر ، مادام القتال شرعياً.
علماً بأن الجهاد مع الفاجر لا يخلو من مفاسد معتبرة، لكنها تتضاءل عند مصلحة إقامة الجهاد، وترك الجهاد مع الفاجر أعظم مفسدة من المفاسد المترتبة على المشاركة فيه معه
.
“Ketahuilah, bahwa hukum asal dari musyarakah adalah jawwaz (boleh), hal yang mendasarinya adalah disyariatkannya berjihad bersama imam baik dan yang fajir (jahat), selama berperang untuk hal-hal yang syar’i.
Ketahuilah, berjihad bersama pemimpin yang fajir tidak akan lepas dari kerusakan yang jelas ada.
Namun kerusakan ini menjadi kecil nilainya di hadapan besarnya kemaslahatan jihad, dan meninggalkan jihad bersama imam yang fajir akan membawa kerusakan yang lebih besar dibanding kerusakan jika ikut berjihad bersamanya.”
(bagi yang ingin melihat teks lengkap fatwa musyarakah beliau (masih berbahasa Arab) lihat http://islamtoday.net/islamion/f05.html)
Syaikh Ahmad Ar Raisuni Hafizhahullah (pakar Maqashid Syariah dari Maroko)
Beliau berkata dalam tulisannya yang berjudul Limadza Nusyariku al Intikhabat (Kenapa Kami Ikut Pemilu?), sbb:
وَالْحَقِيقَةُ أَنَّ هَذَا وَذَاكَ وَاقِعٌ قَدِيمًا وَحَدِيثًا ، وَلَكِنَّ هَذَا بِكُلّ تَأْكِيدٌ لَيْسَ حُجَّةً عَلَيْنَا ، بَلْ هُوَ حُجَّةٌ عَلَى الَّذِينَ عَجَزُوا ، حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ وَعَلَى أَمْثَالِهِم مِنْ الَّذِينَ انْحَرَفُوا انْحِرَافُهُم ، وسقوطهم حُجَّةٌ عَلَيْهِمْ وَعَلَى أَمْثَالِهِم ، وَلَكِنْ لَا يَقْتَضِي هَذَا بِالضَّرُورَةِ أَنَّ يَبْقَى فِي الْأَمَةِ إلَّا فاشِل عَاجِزٌ أَو قَابِل للانْحِراف وَالسَّاقِط عِنْدَ أَوَّلِ ابْتِلَاء ، الْأُمَّة أَعْظَمُ مِنْ هَذَا ، الْأُمَّة كَنْزٌ ، وَالْأَمَة مُنَجِّم لِغَيْرِ هَذَا ، فَلِذَلِكَ لَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ أَهْلُ الصَّلَاحِ وَالدِّين : لاَبُدّ أَحَدٌ صِنْفَيْن ، أَمَّا نَاسٌ لَا يُحْسِنُونَ إلَّا الْفَشِل وَالْعَجْز ، وَأَمَّا نَاسٌ سُرْعَانَ مَا يزلون ويفتنون ويَسْقُطُوْن ، فَلِذَلِك نَحْنُ نَرَى أَنْ الْأَمَةَ لاَبُدّ فِيهَا صِنْفٍ آخَرَ ، وَنَحْنُ نَرْجُو ونَسْعَى ونَتَعَاوَنُ لِنَكُوْنَ مِنْ هَذَا الصِّنْفِ
“Sebenarnya adanya tantangan dan kesulitan adalah realita saat ini dan masa lalu. Itu semua bukan alasan bagi kita, itu adalah alasan bagi orang-orang yang lemah dan semisal mereka yang telah melakukan penyimpangan.
Penyimpangan personal yang mereka lakukan merupakan bukti kelemahan pribadi yang bersangkutan, dan itu bukan berarti tidak ada lagi dari umat ini yang berhasil dalam musyarakah.
Orang yang baik tidak hanya berfikir dua kemungkinan dalam musyarakah: gagal lalu keluar atau larut dalam penyimpangan, dan gugur sejak awal ujian.
Di dalam umat dan jamaah ini pasti ada tambang berharga yang mampu berhasil dalam musyarakah.
Kita saling tolong menolong dalam barisan yang solid dan kokoh dalam rangka terus mewujudkan keberhasilan musyarakah ini. (Lihat http://www.raissouni.org/Docs/155200710648AM.doc)
Musyarakah Bukan Tujuan Tapi Strategi dan Sarana
Ini perlu ditegaskan agar tidak terjadi disorientasi dalam musyarakah.
Jangan sampai para aktivis terjebak pada euphoria musyarakah dan mereka melupakan tujuan asasi dan target besar mereka, li I’la kalimatillah dan menyebarkan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.
Seharusnya ini hanya tahapan, jangan justru jadi tujuan dan berlama-lama di sana tanpa arah, sementara tujuannya dilupakan.
Sunatullah dalam hidup ini adalah sabar dalam berjuang, dan sabar dalam melalui tahapan dakwah adalah tuntutan yang tidak bisa ditawar sebab Allah ﷻ telah menetapkan sunatullah-Nya atas seluruh makhluk yaitu sunah tadarruj (sunah pentahapan).
Oleh karenanya, dalam menyikapi fatwa musyarakah ini perlu ada pengawasan dan evaluasi secara periodik atas upaya ikut andil dalam pemerintahan non Islami.
Agar dapat ditakar secara syar’i dan dijaga agar tetap on the track dakwah, sehingga bisa dinilai apakah musyarakah tersebut bisa dilanjutkan atau tidak.
Demikian. Wallahu a’lam. Itulah penjelasan Ustaz terkait fatwa musyarakah dengan pemerintahan zalim.[ind]