Chanelmuslim.com – Siapakah yang dapat memaksa tatkala dendam sudah merasuk hati sulit untuk disembuhkan. Tapi siapa pula yang dapat menolak ketika hidayah menembus jiwa. Dendam tak terperi pun akan hilang tanpa bekas hingga menjadi cinta sejati. Inilah sebuah kisah yang penuh hikmah yang dikutip dari situs www.parentingnabawiyah.com.
Mari kita merenung sejenak. Menapaki kisah sosok yang Allah pilih memeluk Islam tidak sedari awal. Selama lebih dari 20 tahun ia memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Sampai cahaya hidayah itu masuk ke dalam jiwanya. Meski ia banyak tertinggal, namun tidak mengurangi kemuliaannya. Ia menjadi bagian dari pujian: yang terbaik di antara kalian pada masa jahiliyyah pantas menjadi yang terbaik di antara kalian pada masa Islam.
Baca Juga: Dendam karena Tertekan, Mantan Suami dari Keluarga Bangsawan
Dari Dendam Hingga Menjadi Cinta Sejati
Ia sosok perempuan cerdas. Sangat fasih dalam berbahasa. Pujangga yang cerdik. Keberaniannya mengalahkan sebagian pria. Kepercayaan dirinya tinggi. Tekadnya sangat kuat. Pandangannya tajam. Yang membayar dendam kesumat dengan cinta penuh pengorbanan. Yang menukar pekat kejahiliyyahan dengan Islam yang terang benderang. Al Mishri (2014:333) mengutip pandangan Adz Dzahabi tentang sosok ini dalam Taarikhul Islam, “… termasuk wanita Quraisy yang paling cantik dan cerdas.” Siapakah ia? Ia adalah Hindun binti ‘Utbah.
Al Mishri (2014:332) menuliskan, “Jika anda pernah menyaksikan seorang manusia yang mengalami dua periode berbeda, yakni periode kafir dan periode iman, maka anda akan menemukannya pada periode kedua sebagai sosok yang berbeda seutuhnya dari keadaan periode pertama.”
Hindun binti ‘Utbah masuk Islam pada hari pembebasan kota Mekah. Setelah Rasulullah membaiat kaum laki-laki, beliau membaiat kaum perempuan, termasuk istri Abu Sufyan ini. Ia menyamar karena takut dikenali oleh Rasulullah. Ia malu karena perbuatannya terhadap Hamzah ra.
Apa yang dilakukan Hindun terhadap paman kesayangan Nabi itu adalah luapan emosi dan kebencian karena kehilangan orang-orang yang dicintainya. Dalam perang Badar, ‘Utbah sang ayah, Syaibah sang paman, dan Al Walid bin ‘Utbah saudara kandungnya tewas di tangan kaum Muslimin.
Al Mishri (2014:334) pun menguraikan, “Pamannya terbunuh oleh Hamzah seorang diri, sedangkan ayahnya terbunuh oleh Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Oleh sebab itu, Hindun tidak pernah bisa tidur nyenyak karena memikirkan cara untuk membalas dendam…”
Jiwa yang terguncang karena kekalahan di Badar, serta kematian orang-orang tersayang mendorong Hindun mengobarkan semangat musyrikin Quraisy untuk kembali berperang. Kemudian ia mendoktrin Wahsy (budak Jabir bin Muth’im yang ditugaskan membunuh Hamzah) dengan kedengkian-kedengkiannya dan menjelaskan peran yang harus diembannya. Hindun menjanjikan perhiasan-perhiasan yang paling mahal untuknya sebagai imbalan jika ia berhasil dengan misinya: membunuh Hamzah ra.
Perang Uhud pecah. Wahsyi berhasil membunuh Singa Allah, paman Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam tercinta. Berita ini disambut gembira oleh Hindun. Ia bersama wanita-wanita musyrik datang untuk merusak tubuh pasukan muslim yang telah gugur dengan cara yang sangat biadab. Hindun memutilasi tubuh Hamzah ra.
Detik berganti, tahun berselang, Allah berkehendak membuka dada perempuan ini untuk menerima Islam saat penaklukan Mekah. Allah membersihkan jiwanya dari kecendrungan dengki, menyembuhkan hatinya yang luka, menyibak tabir hitam dari akalnya, mencabut kebatilan dari ilmunya yang haq. Sehingga ia tidak lagi tunduk pada aqidah jahil yang rusak. Begitu masuk Islam ia memukul berhala miliknya yang ada di dalam rumah dengan kapak seraya berkata, “Dahulu, kami terpedaya karenamu.”
Setelah memeluk Islam, Al Mishri (2014:346) juga mengutarakan bahwa, “Hindun ra. Menjadi seorang wanita ahli ibadah; rajin shalat malam dan berpuasa. Ia sangat konsisten dengan status barunya… saat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam wafat, Hindun sangat terpukul, kerena merasa terlalu lama memusuhi Rasulullah. … Hindun tetap mempertahankan keislamannya…”
Sejarah mencatat perannya dalam perang Yarmuk. Ibnu Jarir menyatakan (2014:347), “Pada hari itu kaum Muslimin bertempur habis-habisan. Mereka berhasil menewaskan pasukan Romawi dalam jumlah yang sangat besar. Sementara itu, kaum wanita menghalau setiap tentara muslim yang terdesak dan mundur dari medan laga… Dalam suasana seperti itu, Hindun menuju barisan tentara sambil membawa tongkat pemukul tabuh dengan diiringi oleh wanita-wanita muhajirin. Hindun membaca bait-bait puisi yang pernah dibacanya dalam perang Uhud.”
Pada akhirnya, cinta pada Rabbnya meremukkan kejahiliiyyahannya di masa silam. Kebaikan-kebaikannya mampu menghapus keburukan yang telah lama ia lakukan.
Inilah sebuah akhir yang bahagia, tatkala seseorang mendapat hidayah-Nya dan mengakhiri hidup dengan menggenggam keimanan pada Allah Subhabahu wa Ta’ala. (w)