DAYLIGHT Saving Time, ada yang tahu dengan istilah ini? Di sebagian besar negara yang secara geografis terletak di bagian utara dan selatan Khatulistiwa (Northern – Southern Hemisphere), hari ini (27 Maret 2022), jarum jam maju satu jam. Kok bisa?
Bunda Savitry ‘Icha’ Khairunnisa membahas mengenai hal ini dalam salah satu unggahannya di Facebook.
Ceritanya, pada tahun 1784 Benjamin Franklin (tokoh industri dan salah satu founding fathers Amerika Serikat) mulai mengkampanyekan penghematan waktu saat memasuki musim semi.
Dengan memajukan jarum jam satu jam di akhir bulan Maret, maka biaya listrik domestik maupun industri akan bisa dihemat.
Kemudian pada tahun 1895 George Hudson (asal New Zealand) ikut mengajukan teori yang mendukung ide Benjamin Franklin tadi.
Pada 1916, Kerajaan Jerman dan perserikatan Austria – Hungaria menjadi negara-negara pioner yang menerapkan penghematan waktu musim semi/panas di seluruh wilayah mereka.
Pada perkembangannya, banyak negara yang turut mengimplementasikan praktik ini, khususnya saat terjadi krisis energi di era 1970-an.
Tujuan utama dari sistem waktu yang kemudian dikenal dengan istilah Daylight Saving Time (DST) ini adalah untuk mengurangi penggunaan listrik, alat pendingin dan pemanas, menggiatkan aktivitas outdoors yang pada gilirannya akan meningkatkan kesehatan masyarakat pada musim panas.
Namun, ada juga pihak yang tak sepenuhnya mendukung pergeseran waktu ini.
Alasan mereka adalah akan terjadi gangguan pada masalah jadwal perjalanan, penagihan pada urusan bisnis, masalah pada alat kesehatan, alat-alat berat, dan yang paling jelas dirasakan adalah gangguan pada pola istirahat malam.
Baca Juga: Kisah Norwegia
Cerita Daylight Saving Time dari Bunda Icha Savitry
Apapun, sebagian besar negara di belahan utara dan selatan bumi sudah menerapkan DST (dengan beberapa perkecualian seperti Islandia, Turki, Belarusia, Rusia, dan beberapa negara lainnya di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika).
Sistem DST ini sudah menjadi hal yang biasa saja dan tidak dipermasalahkan lagi oleh masyarakat.
Biasanya, sehari sebelumnya, penyiar radio, TV, rekan kerja, atau sesama warga saling mengingatkan untuk menggeser jarum jam analog di rumah masing-masing satu jam ke depan menjelang tengah malam.
Supaya ketika bangun pagi, kami nggak kaget, gitu Bestie.
Untuk jam digital dan smartphone otomatis akan berubah sendiri karena sejak awal sudah di-setting demikian.
Jadi gampangnya, sekali dalam setahun, kami kehilangan waktu tidur selama satu jam.
Perubahan ini dimulai pada hari Minggu terakhir bulan Maret. Kenapa hari Minggu? Ya, supaya ada waktu untuk menyesuaikan waktu dan aktivitas saja sebelum kembali ke rutinitas seperti biasa hari Seninnya.
Jarum jam akan kembali ke waktu asli pada pertengahan musim gugur/musim dingin (pada hari Minggu terakhir di bulan Oktober).
Saat itu, kami mundurkan kembali jarum jam seperti sedia kala. Artinya jam tidur yang hilang sejam tadi pagi akan diganti enam bulan lagi.
Jadi ceritanya waktu di negeri empat musim ini rutin maju mundur cantik.
Rumus sederhana perubahan waktu, menurut seorang teman asal Skotlandia 20 tahun yang lalu:
“When Spring comes, the time springs forward. When Fall (Autumn) comes, the time falls backwards”.
Begitu kata pria berbaju kilt ala Skotlandia itu sambil memeragakan dengan pergerakan badannya yang maju mundur.
Untuk gambaran lebih jelas, bila ditarik ke Waktu Indonesia Barat, maka waktu Norwegia (dan negara-negara Eropa Daratan yang masuk dalam kelompok waktu Central European Time) adalah:
WIB (-) 5 jam antara akhir Maret s.d. akhir Oktober; dan
WIB (-) 6 jam antara awal November s.d. akhir Maret.
Bingung, Bestie? Memang lebih susah membayangkan daripada menjalani langsung.
Baca Juga: Sekolah di Norwegia Ajarkan Bisnis sejak SMP
Bagi umat muslim, saat menjelang musim semi dan panas berarti jam tidur malam semakin berkurang. Jarak dari subuh hingga maghrib berada dalam interval 15-20 jam.
Kami harus bangun ekstra awal untuk salat subuh, dan harus bertahan hingga larut malam demi menanti waktu maghrib dan isya’ yang jaraknya sangat dekat.
Siang semakin panjang, malam semakin singkat.
Penambahan waktu 1 jam ini akan berpengaruh pula pada durasi puasa Ramadan yang akan datang sebentar lagi. Di awal nanti, kami InsyaAllah akan berpuasa selama kurang lebih 15 jam.
Setiap hari akan bertambah 2-3 menit karena semakin menuju ke musim panas. Hingga di akhir Ramadan nanti, durasi puasanya menjadi sekitar 18 jam.
Memang panjang, tapi alhamdulilah tidak sepanjang beberapa tahun sebelumnya di mana kaum muslim di sini berpuasa Ramadan hingga 20+ jam. Subhanallah. Ala kulli haal.
Tantangan lain dengan waktu siang yang panjang adalah melatih anak untuk tidur agak larut dan membangunkannya lebih awal demi menjaga waktu salat lima waktu.
Harus “tega” sambil diberi pengertian tentang pergantian waktu di bumi belahan Utara yang begitu dinamis.
Pagi ini ketika bangun untuk salat subuh jam 05.45, sejatinya masih jam 04.45. Sempat terdiam sejenak, memberi waktu untuk otak bekerja bahwa hari ini adalah permulaan waktu musim panas.
Maklum, perubahan terakhir 6 bulan lalu. Meski sudah melalui proses ini puluhan kali, kok ya tetap bingung walau sejenak. Faktor U kali, ya.
“Dan Dia yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi siapa yang ingin mengambil pelajaran atau bagi yang ingin bersyukur.” [QS al-Furqan: 62].[ind]
Sumber: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10159631719609020&id=793874019