INILAH cahaya hikmah dan wewangian iman Abu Darda. Iman dan hikmah telah bersatu dengan baik dalam diri orang suci ini.
Baca Juga: Kezuhudan Abu Darda
Cahaya Hikmah dan Wewangian Imam Abu Darda
Marilah kita mendekat kepadanya. Bukankah kalian melihat cahaya yang memancar dari keningnya? Bukankah kalian mencium wewangian yang keluar dari semua sudut tubuhnya?
Ibunya pernah ditanya tentang perbuatan yang sangat disenangi Abu Darda’. Sang ibu menjawab, “Tafakkur dan mengambil pelajaran.”
Tentu saja, karena Abu Darda’ benar-benar memahami firman Allah yang sering di ulang-ulang dalam Kitab suci-Nya, “Hendaklah kalian mengambil pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Al-Hasyr:2)
Ia selalu menganjurkan rekan-rekannya untuk merenung dan tafakkur, “Satu jam tafakkur lebih baik daripada beribadah satu malam.”
Beribadah, bertafakkur dan mencari hakikat telah menguasai seluruh diri dan kehidupannya.
Dulu, saat memeluk Islam dan berbaiat kepada Rasulullah, Abu Darda’ adalah seorang pedagang sukses di Madinah.
Sebelum menjadi muslim, ia habiskan sebagian besar waktunya untuk berdagang. Bahkan, ia sudah sukses di dunia bisnis jauh sebelum Rasulullah dan kaum Muhajirin datang ke Madinah.
Namun, hanya beberapa waktu setelah ia masuk Islam, arah kehidupannya sudah berubah. Marilah kita dengarkan ia menceritakannya dengan rinci.
“Ketika aku masuk Islam, aku seorang pedagang. Aku ingin ibadah dan bisnisku jalan beriringan, namun tidak bisa. Karena itu, aku tinggalkan bisnisku dan aku fokus pada ibadah.
Sekarang, meskipun setiap hari aku mendapat untung 300 dinar, atau bahkan toko itu berada di depan pintu mesjid, aku sama sekali tidak tertarik. Aku tidak mengatakan bahwa Allah mengharamkan jual beli, tetapi aku lebih suka menjadi orang yang tidak melalaikan zikrullah karena bisnis dan perdagangannya.”
Perhatikanlah kata-katanya. Sungguh tepat sasaran. Hikmah dan kejujuran terpancar dari ucapannya. Ia sudah menjawab sebelum kita bertanya, “Apakah Allah mengharamkan perdagangan, wahai Abu Darda’?”
Uraiannya itu melenyapkan kesangsian yang ada dalam pikiran kita. Ia jelaskan tujuan mulia yang ingin ia capai, sehingga ia tinggalkan bisnisnya, meskipun ia sukses di bidang itu. Ia ingin fokus pada sisi ruhiyah dan mencapai derajat tertinggi yang bisa dicapai oleh manusia.
Ia ingin menjadikan ibadah sebagai tangga yang mengantarkannya ke dunia kebaikan yang paling tinggi, sehingga ia dapat melihat kebenaran yang begitu hebat dan hakikat yang begitu bercahaya. Jika tujuannya hanya melakukan kewajiban dan meninggalkan larangan Islam, tentu ia dapat menjalankan bisnis dan ibadah secara bersamaan.
Lihatlah, berapa banyak para pebisnis yang shalih dan orang-orang shalih yang pebisnis. Di antara generasi sahabat juga terdapat orang-orang yang tidak melalaikan zikrullah karena bisnis dan perdagangan mereka.
Mereka bekerja keras membesarkan bisnis dan kekayaan mereka untuk kepentingan Islam dan membantu kebutuhan kaum muslimin.
Akan tetapi, jalan yang mereka tempuh ini tidak meniadakan jalan hidup Abu Darda, dan jalan yang ditempuh Abu Darda’ tidak meniadakan jalan hidup mereka. Setiap orang mengikuti jalan yang telah dimudahkan untuk mereka.
Abu Darda’ merasa bahawa ia diciptakan untuk tujuan yang ingin dicapai, yaitu fokus mencari hakikat dengan menjauhi urusan dunia sesuai keimanan yang digariskan Allah, Rasul, dan Islam.
Jika Anda suka, sebutlah itu tasawuf. Akan tetapi, itu adalah tasawuf seorang laki-laki yang telah memiliki kecerdasan seorang mukmin, kemampuan filosof, pengalaman seorang mujahid, dan pemahaman seorang sahabat Nabi. Semua itu menjadikan tasawufnya suatu gerakan membangun rohani, bukan sekedar naungan yang mengayomi bangunan ini.
Itulah dia Abu Darda’, sahabat sekaligus murid Rasulullah. Itulah dia Abu Darda’, seorang suci nan bijak. Dialah seorang laki-laki yang menolak dunia dengan kedua tangan dan dadanya. [Cms]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom