SEPEKAN terakhir ini, dua kata: bajingan dan tolol, menjadi sorotan utama publik. Berbagai pakar lintas keilmuan menguji ketajaman analisis mereka untuk mengupas dua kata itu.
Kata bajingan dalam KKBI artinya penjahat, pencopet, kurang ajar (makian). Tapi di beberapa daerah, kata ini memiliki arti yang lain.
Seperti dalam bahasa di daerah Jawa. Di Yogyakarta bajingan artinya kusir gerobak dengan tenaga sapi. Di Magelang, bajingan adalah cemilan berbahan ketela, rasanya manis dan teksturnya kenyal.
Keragaman budaya dan etnis di Indonesia menjadikan bahasa tidak bisa ditafsirkan satu versi. Baik dari segi makna maupun cara mengungkapkannya.
Boleh jadi, satu etnis dirasakan berbahasa kasar dari sudut pandang etnis lainnya. Padahal, hal itu biasa di etnis yang bersangkutan.
Contoh, pernah ada orang Jawa yang baru tiba di Jakarta merasakan bahwa orang Betawi bicaranya sangat kasar. Sepertinya tidak punya sopan santun dalam versi Jawa.
Pendatang baru di Jakarta ini pun terheran-heran jika mendapati cara orang-orang Betawi bertutur sesama mereka. Kok, seperti mau berkelahi.
Contoh, di masyarakat Jakarta kata brengsek atau kacau, pe’a atau tolol, rese’ atau menyebalkan, sangat biasa diungkapkan dalam percakapan sehari-hari. Dan hal itu sama sekali tidak berkaitan dengan yang disebut sopan santun, dan sejenisnya. Justru, warna berbahasa itu menunjukkan keakraban.
Hal yang sama mungkin juga dirasakan dari satu etnis terhadap etnis lainnya. Cara berbahasa yang biasa di suatu etnis menjadi tidak biasa dirasakan oleh etnis lain.
Inilah keragaman berbahasa yang tidak perlu dipersoalkan dan diseragamkan. Yang penting ada saling memahami dan memaklumi dalam kehidupan sehari-hari.
Ungkapan Berbahasa terhadap Sebuah Profesi
Selain tentang subjek yang mengungkapkan, objek pun bisa mempengaruhi bagaimana cara sebuah sebutan diucapkan.
Misalnya, kata tolol sepertinya biasa disematkan untuk mereka yang berprofesi rendahan. Hal ini boleh jadi karena umumnya tingkat pendidikan objek yang rendah. Seperti terhadap pembantu rumah tangga, tukang parkir, dan lainnya.
Tidak heran jika terhadap objek-objek tersebut kerap disematkan kata tolol. Misalnya, kesalahan fatal yang dilakukan oleh seorang pembantu rumah tangga bisa memunculkan kata ‘tolol’ dari pihak lain.
Tentu bukan berarti si objeknya memang benar-benar tolol, tapi karena profesi mereka yang umumnya berlatar belakang pendidikan rendah.
Contoh lain kata sombong, arogan, yang kadang biasa disematkan pada petugas keamanan. Hal ini karena sosok mereka yang ditakuti karena membawa senjata misalnya. Lagi-lagi, bukan berarti bahwa orangnya memang sombong atau arogan, tapi karena berkaitan dengan profesinya.
Bahasa Itu Ekspresi
Bahasa itu bagaimana cara mengungkapkan ekspresi. Dalam hal ini pilihan bahasa sangat dipengaruhi oleh keragaman ekspresi.
Misalnya, ekspresi senang akan memunculkan pilihan bahasa yang sangat berbeda dengan ekspresi marah, ekspresi sedih, bingung, khawatir, dan lainnya.
Contoh, orang tua biasanya berbahasa santun terhadap anak-anaknya. Tapi dalam keadaan marah, pilihan bahasanya bisa sangat berbeda.
Dalam hal ini, jangan terlalu memperhatikan pilihan bahasa yang diambil dalam sebuah ekspresi tertentu, tapi tangkap keadaan ekspresinya. Hal ini agar berbahasa bisa lebih produktif dari sekadar aksi dan reaksi.
Contoh lain, ketika seorang anak menangis atau merengek-rengek agar bisa dibelikan tas sekolah baru oleh orang tuanya, tidak berarti bahwa sang anak cengeng dan menyebalkan. Tapi hal itu sebuah keterpaksan dari ungkapan ketidakberdayaan yang ditujukan terhadap orang tuanya.
Bajingan dan Tolol
Mencermati dua kata yang sedang viral itu, tentu tidak bisa ditafsirkan satu versi saja. Tidak juga dengan mengabaikan objek profesi yang ditujukan. Dan, tidak juga menihilkan nilai ekspresi dari subjek yang menyampaikan.
Kupasannya harus melibatkan berbagai sisi yang terkait tadi. Hal ini agar kita terbiasa dengan kearifan dalam berbahasa. Seperti orang tua yang menangkap view point dari rengekan anak untuk dibelikan tas sekolah baru.
Bukan karena si anak benci dengan orang tuanya. Bukan pula karena si anak tergolong cengeng dan kurang ajar. Tapi sebagai protes terhadap orang tua agar bisa menangkap aspirasi yang diharapkan. [Mh]