ChanelMuslim.com- Dalam Islam itu, rumah tak sekadar bangunan. Tak sekadar ada keluarga. Tapi, ada surga dunia.
Jadi orang Islam itu sangat menyenangkan. CIta-cita hidupnya memperoleh dua bahagia. Di dunia dan akhirat.
Di dunia ada surga dunia. Dan di akhirat akan memperoleh surga yang sebenarnya. Menariknya, surga di akhirat bisa sebagai cerminan dari surga dunia.
Dan surga dunia itu adalah keluarga yang bahagia: baiti jannati. Rumahku surgaku.
Surgaku, meski Kamarnya Cuma Satu
Idealnya, kamar rumah disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Satu kamar untuk ayah ibu, satu kamar untuk pegawai rumah, dan kamar-kamar lain untuk masing-masing anak.
Itukan takaran ideal. Tapi, hal itu tidak berarti bahwa rumahku surgaku tidak bisa tercapai jika kamar rumah cuma satu.
Buat sebagian orang yang terbiasa hidup berkecukupan, mungkin terheran-heran: gimana bisa ya ada rumah kamarnya cuma satu. Padahal, anaknya lebih dari empat.
Mereka lupa bahwa Nabi pun rumahnya sangat sederhana. Luasnya tidak lebih dari dua puluh meter per segi. Ruangannya juga sangat terbatas alias minim: satu ruang tamu, dan satu kamar tidur.
Namun, Nabi merasakan rumahnya sebagai tempat ternyaman di dunia.
Tapi, bagaimana mengatur rumah dengan kamar satu padahal anak lebih dari empat. Cara mengaturnya sangat fleksibel.
Biasanya, dengan ukuran rumah seperti itu, ayah ibu menghindari kamar dengan tempat tidur. Jadi, alas tidurnya mirip seperti masyarakat Jepang. Bisa digelar kalau dibutuhkan, dan dilipat setelah tidak lagi dibutuhkan.
Dengan begitu, kamar bukan hanya berfungsi tempat tidur khusus. Tapi juga bisa menjadi ruang makan, shalat, belajar, dan bahkan bermain anak-anak.
Dengan cara menerapkan tempat tidur yang digelar dan digulung, ruang selain yang disebut kamar pun bisa berfungsi sebagai tempat tidur di saat malam. Asal jangan kamar mandi dan dapur.
Intinya, kamar tidur satu tidak mengurangi fungsi-fungsi rumah yang paling nyaman untuk keluarga. Lagi-lagi, yang penting isi hati para penghuninya.
Surgaku, meski Pindah-pindah
Sebagian orang tinggal dalam rumah yang sering pindah-pindah. Alias, rumah kontrakan. Kalau harga masih terjangkau, tetap tinggal di situ. Kalau tidak terjangkau, pindah dan cari yang masih terjangkau. Begitu seterusnya.
Biasanya ini dialami warga perkotaan. Harga tanah di sini sangat mahal. Sehingga sulit bisa memiliki rumah sendiri.
Kenapa nggak cari di pinggiran kota? Masalahnya, di kota lebih dekat dengan tempat kerja. Selain menguras tenaga karena jarak, juga memakan waktu tempuh.
Keluarga seperti ini umumnya memiliki strategi: biarlah susah di saat awal, tapi bisa bahagia di saat berikutnya.
Artinya, investasi utama mereka bukan bangunan fisik rumah. Tapi, investasi mutu anak-anak. Mulai dari pendidikan dan hubungan yang dekat dengan orang tua. Walaupun, hidup di perkotaan pun rawan lingkungan yang buruk untuk anak-anak.
Biarlah sering pindah-pindah, yang penting hubungan antar anggota keluarga tak pernah berubah. Selalu akrab dan hangat. [Mh]