SETIAP kali terjadi bencana alam, ramai dibicarakan apakah peristiwa yang terjadi merupakan azab dari Allah atau bukan?
Sebagian orang menyakini bahwa hal tersebut merupakan azab akibat berbagai kemaksiatan dan kemunkaran yang terjadi di daerah tersebut.
Biasanya hal ini akan diiringi dengan semacam invesitigas, kemunkaran apa yang terjadi di daerah tersebut sehingga mengundang bencana?
Pandangan ini tidak sepenuhnya salah, karena memang beberapa dalil baik dalam Al-Quran maupun sunah memberikan isyarat bahwa akibat dari banyaknya kemaksiatan dan kemunkaran adalah turunnya ‘bala’ dan ‘hukuman’ dari Allah.
Baca Juga: Dompet Dhuafa Gelar Pelatihan Jurnalis Siaga Bencana
Apakah Terjadinya Bencana Alam adalah Azab dari Allah?
Beberapa hadis menunjukkan bahwa jika kemaksiatan sudah merajalela di tengah masyarakat, Allah akan turunkan ‘azab’Nya. Di antaranya hadis berikut:
ما ظهرَ في قومٍ الزِّنا والرِّبا ؛ إلَّا أحلُّوا بأنفسِهِم عذابَ اللهِ
“Manakala zina dan riba merebak di suatu negeri, itu artinya mereka sedang mengundang azab Allah.” (HR. Ahmad, no. 3809, Ibnu Hibban, no. 4410)
Bahkan dalam Al-Quran, Allah menyatakan bahwa berbagai kerusakan (bencana) di daratan dan di lautan (di desa maupun di kota), tujuannya adalah;
لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟
“….Supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka… “ (QS. Ar Rum: 42)
Para ulama tafsir mengatakan, kata ‘sebagian’ pada ayat tersebut menggambarkan bahwa berbagai bencana yang menimpa umat manusia adalah baru ‘sebagian kecil’ dari azab yang Allah perlihatkan di dunia. Sebagian besar sisanya, jika tidak bertaubat, akan jauh lebih dahsyat nanti Allah timpakan di hari kiamat.
Namun demikian, melakukan vonis bahwa pada setiap bencana sebagai azab, juga tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, apalagi jika wilayah tersebut banyak orang beriman dan ahli ketaatan.
Pertama karena azab yang sifatnya massif di suatu negeri itu sudah Allah ‘hapuskan’.
Bahkan para ulama menyatakan bahwa hal tersebut sudah ‘dihapus’ sejak diturunkannya kitab Taurat pada masa Nabi Musa alaihissalam, setelah ditenggelamkannya Fir’aun, sebagaimana diisyaratkan dalam Surat As-Syuara:
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا مُوسَى ٱلْكِتَٰبَ مِنۢ بَعْدِ مَآ أَهْلَكْنَا ٱلْقُرُونَ ٱلْأُولَىٰ بَصَآئِرَ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَّعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Sesungguhnya telah Kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah Kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelita bagi manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat.” (QS. Al-Qashash: 43)
Dalam hadis riwayat Al Hakim, Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengutip ayat ini untuk menjelaskan bahwa sejak diturunkannya Taurat, Allah meniadakan azab yang membinasakan suatu negeri (HR. Hakim, no. 3534)
Kedua, banyak riwayat hadis yang menyatakan bahwa berbagai musibah yang menimpa muslim, justru akan meninggikan derajatnya di sisi Allah, bahkan hingga derajat syahid.
Sebab bedasarkan hadis riwayat Muslim, orang yang wafat karena penyakit tho’un (wabah), orang yang mengalami sakit pada perutnya, orang yang tertimpa reruntuhan (longsor) dan orang yang mati tenggelam dan yang terbunuh dalam perang di Sabilillah, maka dia tergolong mati syahid.
Bahkan, boleh jadi musibah atau bencana yang menimpa seseorang justru alamat cinta dari Allah. Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyatakan bahwa jika Allah mencintai seseorang maka Dia akan menguji mereka, semakin tinggi bala’nya semakin besar pahalanya..
إنَّ عِظَمَ الجزاءِ مع عِظَمِ البلاءِ ؛ و إنَّ اللهَ تعالى إذا أحبَّ قومًا ابتلاهم
“Sesungguhnya besarnya balasan tergantung besarnya ujian. Sesugguhnya Allah Taala jika mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya.” (HR. Tirmizi, no. 2396)
Jadi bagaimana kesimpulannya? Apakah bencana yang terjadi dapat dibilang azab atau bukan?
Mungkin dapat kita rangkum semuanya dengan menyatakan bahwa bencana yang terjadi di berbagai tempat adalah azab Allah bagi ahli maksiat, penghapus dosa dan peninggi derajat bagi orang saleh, dan lambang cinta Allah bagi para kekasih dan wali Allah yang sangat tinggi kedudukannya karena ketakwaannya kepadaNya.
Wallahu a’lam.
Catatan: Ustadz Abdullah Haidir, Lc