Al Hasan bin Al Haitsam Ilmuwan Muslim yang Dilupakan
KIPRAH ilmuwan muslim memang banyak yang tidak diketahui. Kini kita lebih mengenal ilmuwan-ilmuwan Barat, sementara jika dibuka lagi literatur banyak ilmuwan muslim justru yang terlebih dulu memberikan prestasi dan penemuan-penemuan bermanfaat.
Tetapi kemudian banyak pula ilmuwan Barat yang mengganti nama suatu penemuan dengan nama pribadinya, atau menyembunyikan literaturnya.
Seperti halnya Al-Hasan bin Al-Haitsam seorang ilmuwan muslim terkemuka dan memiliki prestasi yang menonjol diantara para ilmuwan dibidang ilmu pengetahuan alam.
Akan tetapi sangat disayangkan adalah dia tidak mendapatkan haknya, namanya terkubur, dan tidak mendapatkan kedudukan yang semestinya.
Baca Juga: Menyasar Pelosok, Muslimah Wahdah Soppeng Tebar Iftar Tahap 2 di Jekkae, Kec. Citta
Al Hasan bin Al Haitsam Ilmuwan Muslim yang Dilupakan
Ia memiliki nama lengkap Abu Al-Hasan bin Al-Hasan bin Al-Haitsam, ia lebih dikenal dengan nama Al-Bashri. Lahir di Bashrah, Iraq pada tahun 354 H (965 M) dan wafat di tahun 430 H (1039 M) di Cairo.
Ia belajar di Bashrah kemudian ke Iraq untuk mendalami ilmu-ilmu agama baru kemudian matematika, astronomi, kedokteran dan filsafat.
Bidang yang menonjol pada Ibnul Haitsam diantaranya:
– Ilmu matematika yang meliputi ilmu hitung, aljabar, geometri dan hitungan trigonometri.
– Ilmu pengetahuan alam; terutama ilmu optik yang oleh Ibnul Haitsam disebut “ilmu al-manazhir.”
– Ilmu Falak atau ilmu astronomi sebagaimana yang dikatakan oleh para ilmuan Islam.
Di umur 30 tahun Ibnul Haitsam pergi ke Mesir atas undangan Khalifah Dinasti Fatimiyah, Al-Hakim Biamrillah. Dia mengjabiskan sebagaian besar waktunya di Cairo.
Disana ia melanjutkan penelitiannya dan menulis banyak buku. Ibnul Haitsam hidup di Cairo dalam keadaan sederhana dan tawadhu, dia hanya tinggal di sebuah kamar di dekat pintu gerbang Masjid Al-Azhar.
Dia terpaksa menyibukkan diri dengan menggandakan buku-buku Euklides dan Ptolemaeus serta lainnya dan menjual di depan mesjid Al-Azhar untuk menyambung hidupnya.
Diantara penemuannya adalah:
– Ibnul Haitsam membongkar teori lama yang diwariskan ilmu filsafat Yunani bahwa penglihatan terjadi akibat keluarnya seberkas cahaya dari mata orang yang melihat objek benda sehingga terjadilah penglihatan.
Ibnul Haitsam justru menemukan teori sebaliknya, bahwa penglihatan terjadi akibat adanya seberkas cahaya pada objek benda yang dilihat ke mata sehingga berpengaruh padanya.
Teori sederhana ini sangat logis dan wajar jika disebut “pembuka yang nyata” bagi ilmu pengetahuan sebagai “langkah yang besar” dari langkah peradaban manusia.
– Ibnul Haitsam mempelajari studi keterbalikan dengan menggunakan cermin datar dan cermin cekung dan berhasil membuat kaidah khusus untuk itu.
Dia menentukan posisi dan pengaruh pertemuan cahaya dan bagaimana cara memperbesar gambar.
– Menunjukkan adanya perbedaan ketebalan cahaya pada berbagai macam media (seperti kaca, air, udara, dan benda lainnya) serta menjelaskan bahwa tingkat pembiasan cahaya berbeda-beda antara satu media dengan lainnya.
– Penelitiannya pada lensa ( istilah Ibnu Haitsam untuk kaca pembesar) dan potensi pembesarannya membuka jalan bagi penemuan kaca mata.
– Dia mempelajari anatomi mata, menjelaskan susunannya dengan gambar-gambar dan membuat nama pada setiap bagiannya seperti yang kita kenal sekarang.
– Al Hasan bin Al-Haitsam menemukan suatu pemikiran tentang ruang gelap dan melakukan eksperimen yang menjadi dasar pembuatan kamera dan perlengkapan lainnya seperti lampu sorot, televisi dan video.
Ibnul Haitsam adalah contoh ilmuwan yang berhati mulia, bersih hatinya dan mencintai kebaikan. Hal ini dapat diketahui dari penghormatannya yang diberikan kepada para ilmuwan dan tidak menyelewengkannya.
Apabila dalam penelitiannya dia menemukan suatu hal yang baru, dia menyebutkan dalam buku-bukunya dengan sikap tawadhu dan tidak sombong.
Ibnul Haitsam bukanlah orang yang suka mendekatkan diri pada penguasa untuk mendapatkan penghargaan atau materi.
Dia memilih profesi sebagai pengganda naskah-naskah manuskrip dan menjualnya dan ia hanya cukup menggandakan tiga manuskrip yang cukup untuknya hidup setahun.
Setelah itu, dia menjalani hari-harinya dengan zuhud agar dapat konsentrasi melakukan penelitian dan menulis karya-karyanya. (w)
Sumber : 147 Ilmuan Terkemuka dalam Sejarah Islam, Muhammad Gharib Gaudah, Pustaka Al-Kautsar