MEMAAFKAN itu ciri orang yang bertakwa. Hal itulah yang pernah diajarkan tokoh teladan bangsa seperti Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa disebut Buya Hamka.
Buya Hamka itu pejuang Islam di pentas politik Indonesia. Sebagai insan politik yang lurus, ulama kelahiran Sumatera Barat itu memiliki banyak ‘musuh’.
Mereka berseteru di parlemen, di media-media massa, di pidato-pidato publik, dan lainnya. Bahkan, Buya Hamka juga pernah menjadi korban fitnah tingkat tinggi.
Suatu kali di Bulan Ramadan tahun 1964, sepulang dari mengisi ceramah, Buya Hamka diciduk tentara di rumahnya. Ia dituduh akan menggulingkan pemerintah Soekarno.
Selama berhari-hari, sastrawan Indonesia ini diinterogasi. Salah satu interogasi yang sangat menyakitkan hatinya adalah tuduhan bahwa ia bekerja sama dengan Malaysia untuk menjatuhkan Presiden Soekarno.
Tanpa pengadilan yang sah, Buya Hamka dipenjara selama kurang lebih dua tahun empat bulan. Namun, beberapa tahun kemudian, Presiden Soekarno terguling. Pemerintahan pun berganti ke Orde Baru.
Buya Hamka dibebaskan. Suatu kali, ada utusan yang membawa surat ‘wasiat’ dari Soekarno bahwa mantan presiden RI pertama ini meminta agar Buya Hamka menyolatkan jenazahnya.
Orang yang pernah memenjaranya bertahun-tahun tanpa dalil hukum yang sah, orang yang pernah membubarkan partai di mana ia aktif, Masyumi, meminta untuk dishalatkan.
Buya Hamka memaafkan. Ia tanpa berat hati mengimami shalat jenazah itu.
**
Buya Hamka aktif di Partai Masyumi. M Yamin aktif di PNI. Keduanya sama-sama kelahiran Sumatera Barat tapi mimiliki ideologi yang berseberangan.
Konflik keduanya kerap mewarnai sidang-sidang parlemen, juga dalam pidato-pidato umum di media massa.
Suatu kali, pada tahun 1962, ada utusan yang datang ke Buya Hamka. Ia menyampaikan pesan bahwa M Yamin sedang dirawat di RSPAD Gatot Subroto, dan memohon untuk bertemu dengan Buya Hamka.
Meski keduanya biasa berseteru dalam pemikiran, tapi Buya Hamka dengan lapang dada datang menjenguk M Yamin.
Ada dua hal yang diminta dari M Yamin dari Buya Hamka. Pertama, ia memohon agar Buya Hamka mau mentalkinnya di jelang kematiannya. Kedua, memohon agar Buya Hamka mau membujuk orang-orang Minang untuk menerima jenazah M Yamin dimakamkan di tanah kelahirannya di Sawahlunto Sumbar.
Dua permintaan itu diterima dengan lapang dada oleh Buya Hamka. Ia membimbing mantan koleganya itu dalam talkin akhir hayatnya. Dan karena permintaan Buya Hamka, akhirnya masyarakat Sumbar bersedia menerima M Yamin dimakamkan di sana.
**
Pramoedya Ananta Toer adalah sastrawan yang beraliran ‘kiri’. Ia aktif di sebuah lembaga Lekra yang merupakan bagian dari perjuangan PKI.
Pram begitu sapaannya, selalu berseberangan dengan Buya Hamka, meski keduanya sama-sama sastrawan Indonesia.
Puncaknya ketika Pram menuduh karya sastra Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan karya jiplakan dari sebuah karya sastra asal Prancis yang terkenal di Mesir.
Selama berbulan-bulan, Pram kerap mengulang-ulang tuduhan itu melalui pidato, tulisan, dan lainnya di media massa.
Ketika Orde Lama jatuh dan berganti Orde Baru, Pram tak lagi terdengar. Pada tahun tujuh puluhan, datang sepasang calon suami istri ke rumah Buya Hamka.
Yang wanita bernama Astuti, dan yang pria bernama Daniel yang juga seorang warga keturunan Cina.
Yang mengejutkan Buya Hamka, Astuti mengenalkan dirinya bahwa ia diminta ayahnya untuk mengajak calon suaminya yang mualaf itu untuk belajar Islam kepada Buya Hamka, sekaligus membimbing dalam bersyahadat.
Siapa ayah Astuti? Namanya Pramoedya Ananta Toer. Rupanya, Pram mengirim putri dan calon menantunya itu ke Buya Hamka untuk belajar Islam sebagai ungkapan permintaan maaf.
Buya Hamka menerima dengan lapang dada. Ia ajarkan Daniel tentang dasar-dasar Islam dan tauhid. Dan akhirnya Daniel dibimbing mengucapkan dua kalimat syahadat oleh Buya Hamka.
**
Masya Allah. Tiga episod memaafkan dari tokoh yang berbeda, bermuara sejuk di hati Buya Hamka. Tidak ada dendam. Meski perseteruan dan kezalimannya tergolong luar biasa dirasakan beliau.
Kita belum seberapa di banding Buya Hamka. Secuil kuku pun tidak. Sudah sepantasnya kita bercermin dari beliau.
Seolah Buya Hamka berpesan dalam jiwa pemaafnya itu, “Maafkanlah saudaramu, sebagaimana engkau mengharap Allah memaafkan begitu banyak dosamu.” [Mh]