ABU Darda adalah seorang mahaguru dan ahli hikmah yang lurus. ia adalah seorang laki-laki yang fokus mengasah dan menyucikan jiwanya, sehingga menjadi cermin yang memantulkan hikmah, kebenaran, dan kebaikan, yang menjadikan Abu Darda’ sebagai seorang mahaguru dan ahli hikmah yang lurus.
Berbahagialah mereka yang datang menemuinya dan mendengarkan ajarannya.
Baca Juga: Abu Darda Memosisikan ilmu sangat Tinggi
Abu Darda, Seorang Mahaguru dan Ahli Hikmah yang Luas
Ke sinilah dan ambilah hikmahnya, hai orang-orang yang punya hati nurani. Mari kita mulai dari falsafahnya tentang dunia dengan segala kesenangan dan kemewahannya. Ia sangat terkesan dengan firman Allah,
“Yang mengumpulkan harta lagi menghitung-hitung. Ia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya.” (Al-Humazah: 2-3) Juga sabda Rasulullah, “Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak melenakan.”
“Menjauh dari dunia sebisa kalian karena barangsiapa yang menjadikan dunia tujuan utamanya, Allah akan mencerai-beraikan kekuatannya, dan menjadikan kemiskinan di depan matanya. Dan barangsiapa yang menjadikan akhirat seabgai tujuan utamannya, Allah akan menghimpun kekuatannya, menjadikan kecukupan di hatinya dan Allah memudahkannya mendapat kebaikan.”
Oleh karena itulah ia berbela sungkawa untuk orang-orang yang menjadi tawanan harta kekayaan, seraya berkata, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercera-berai.”
Ketika ditanya, “Apa yang dimaksud dengan hati yang tercerai-berai, wahai Abu Darda’?”
Ia menjawab, “Memiliki harta benda di setiap lembah.”
Dia mengajak orang lain menguasai dunia dengan tidak membutuhkannya. Inilah penguasaan yang sesungguhnya terhadap dunia.
Adapun mati-matian mengejar dunia, tidak akan ada kesudahannya. Inilah penghambaan dan perbudakan yang paling buruk.
Ia berkata, “Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya?”
Bagi Abu Darda’, harta hanya sarana untuk hidup sangat sederhana. Karena itu, harus diperoleh dengan cara yang halal dan dengan usaha yang biasa-biasa saja, tidak dengan rakus dan mati-matian.
Ia juga berkata, “Jangan makan, kecuali yang baik. Jangan bekerja, kecuali yang baik. Dan jangan memasukan ke rumahmu, kecuali yang baik.”
Ia pernah mengirim surat kepada temannya. Di antara isi surat itu adalah,
“Tidak satu pun harta kekayaan dunia yang kamu miliki, melainkan sudah ada orang lain yang memilikinya sebelum kamu, dan akan ada orang lain yang memilikinnya sesudah kamu.
Sebenarnya, harta kekayaan dunia yang kamu miliki hanyalah yang kamu manfaatkan untuk dirimu. Perhatikanlah anakmu yang akan mewarisi hartamu itu, karena anak yang mewarisi hartamu bisa jadi anak yang shalih yang memanfaatkan harta itu untuk melakukan ketaatan kepada Allah.
Dengan itu, ia menjadi bahagia dengan harta kekayaan yang telah membuatmu sengsara. Atau, bisa jadi anak yang shalih menggunakan harta itu untuk berbuat maksiat, maka ia sengsara dengan harta yang telah kamu kumpulkan. Yakinlah bahwa Allah akan memberi rezeki kepada mereka. Karena itu, selamatkanlah dirimu.”
Di mata Abu Darda’, dunia hanyalah titipan. Sewaktu Cyprus ditaklukan, dan harta rampasan perang dibawa ke Madinah, Abu Darda’ terlihat menangis. Orang-orang pun terkejut.
Jubair bin Nafir memberanikan bertanya, “Wahai Abu Darda’, apa yang membuatmu menangis pada saat Allah memberikan kemenangan kepada Islam dan kaum muslimin?”
Abu Darda’ menjawabnya dengan sangat bijak, “Jubair, sangat disayangkan. Alangkah hinanya makhluk di sisi Allah, bila mereka meninggalkan perintah-Nya. Saat mereka menjadi umat perkasa, menang, dan memiliki kerajaan, mereka tinggalkan perintah Allah, maka mereka menjadi seperti yang kamu lihat.”
Dan benar apa yang dikatakannya. Kekalahan pasukan Islam yang begitu cepat di negara-negara yang berhasil ditaklukan disebabkan oleh kehilangan aspek ruhiyah yang menjad perisai dan agama yang menjadi penguhubung dengan Allah.
Dan karena itu pula, ia mengkhawatirkan keadaaan kaum muslimin di saat ikatan iman mereka lepas; hubungan mereka dengan Allah, dengan kebenaran, dan kebaikan menjadi lemah, maka kemenangan dan kekayaan yang merupakan titipan itu pun lepas dengan cepat, secepat saat memperolehnya.
Baginya, dunia dan seisinya, selain sebagai titipan, juga jembatan menuju kehidupan yang abadi dan lebih indah. [Cms]
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom