ChanelMuslim.com – Gencarnya petisi hentikan iklan Blackpink membuat masyarakat terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang setuju dengan hadirnya petisi tersebut, sedangkan yang kedua terdiri dari masyarakat yang justru menolak keras petisi itu.
Pada kalangan masyarakat yang setuju, petisi ini didominasi kalangan orang tua sekaligus non K-Pop atau non pecinta drama ataupun acara variety show Korea. Di sisi yang lain, mayoritas masyarakat yang menolak petisi “Hentikan iklan Blackpink” ini datang dari kalangan milenial, terutama pecinta K-Pop atau drama Korea.
Reaksi penolakan petisi bermacam-macam seperti adanya petisi tandingan, hujatan atau penolakan keras di kanal media sosial bahkan menghubungi langsung Maimon – penggagas petisi “Hentikan iklan Blackpink”.
Namun, penolakan dari para pecinta K-Wave ini tidak berhasil. Masyarakat yang menandatangani Petisi “Hentikan iklan Blackpink” semakin bertambah jumlahnya, bahkan KPI sudah melayangkan surat peringatan ke stasiun televisi yang menayangkannya. Masyarakat yang menolak pun bersyukur dengan kebijakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Di sisi yang lain, para pecinta K-Pop atau K-wave merasa tidak terpengaruh dengan kesukaannya. Sebagian besar dari K-Pop juga tetap saja masih menggandrungi K-Pop, drama atau acara variety show Korea.
Sebagai warga negara yang mencintai Indonesia dan seorang muslim, hikmah viralnya petisi “Hentikan Iklan Blackpink” harus dijadikan renungan dan aksi nyata yang berkelanjutan.
Jika dikembalikan dengan isi dari petisi tersebut, maksud petisi ini mengarahkan pada pelanggaran nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila sekaligus norma agama.
Renungan yang harus dipikirkan berupa, pelanggaran nilai Pancasila, sosial dan norma agama bukan satu-satunya terjadi dari iklan tersebut. Tidak hanya iklan, sinetron dan program hiburan di Indonesia saat ini juga mengesampingkan nilai dan norma yang tidak pantas.
Adanya pelanggaran yang sebenarnya mudah ditemui di televisi atau media apapun, butuh peran dari semua berbagai pihak untuk melawan pelanggaran yang terjadi.
Peran KPI sebagai pengontrol siaran televisi harus tegas dalam bertugas. Para pembuat konten atau acara sudah seharusnya memikirkan nilai-nilai luhur yang perlu ditegakkan, bukan hanya sekadar bisnis semata. Pemerintah ikut membantu, mengontrol dan memberikan kewenangan yang tepat agar tayangan atau tontonan Indonesia lebih bermutu dan bermanfaat.
Kolaborasi pemangku kebijakan, lembaga dan orang-orang juga dibutuhkan untuk mengatasi persoalan ini. Adanya ambassador dari negara ginseng yang memakai pakaian pendek itu sudah menjadi fashion tersendiri. Hal ini dikhawatirkan para orang tua karena dapat mengikis budaya kesopanan dan nilai luhur bangsa.
Aksi nyata para orang tua tidak boleh berhenti sampai di penolakan melalui petisi saja. Edukasi kepada anak-anak juga diperlukan. Anak-anak dan generasi milenial hidup di generasi digital, edukasi yang diberikan sudah seharusnya menyesuaikan zaman.
Melarang atau memaksa anak tidak menonton K-Pop atau drama Korea akan susah dilaksanakan. Generasi milenial tidak suka dilarang atau dipaksa. Fasilitasi anak-anak dengan edukasi menyenangkan sesuai rasa senangnya menonton K-Pop atau drama. Berikan ruang anak-anak untuk berkreasi sesuai kemampuannya. Satu hal yang terpenting, tanamkan nilai agama yang dimulai dari keluarga. Sumber kekuatan untuk tidak ikut-ikutan demam Korea berasal dari keluarga. Sebagai orang tua, kita tidak boleh lalai dalam mendidik dan menjadi contoh untuk anak-anak. (Firda)