ZAMAN sekarang semua menggunakan sosial media. Dari pemilihan ketua arisan sampai pemilihan presiden. Dari informasi penting hingga gosip artis. Dan yang menarik juga adanya grup sosial media dari mulai grup facebook, bbm, whatsapp, dan masih banyak lagi.
Satu orang bisa gabung di banyak grup, mulai grup sekolahan, grup pekerjaan, grup arisan, bahkan sampai grup pengajian. Sosial media saat ini memang memegang peranan penting.
Dulu yang menjadi fenomena adalah adanya blackberry messager (BBM). Tetapi sekarang yang menjadi tren adalah whatsaap dan katanya untuk anak muda Line.
Baca juga: Muslim Sebagai Minoritas
Tapi bukan tren teknologi yang ingin saya bahas. Gadget yang bikin ketagihan, dan selalu dalam genggaman, sampai-sampai lupa genggaman dengan suami. Beruntungnya suami juga tidak marah, karena ia pun sibuk genggam gadgetnya.
Nah, topik yang ingin saya bahas adalah fenomena left group. Meski hanya ada di dunia maya, tapi setiap grup yang kita ikuti mempunyai kesan dan ikatan.
Ketika tiba-tiba ada yang left group dan kita melihat notifikasinya. Ada rasa kurang enak di hati. Mulailah bermunculan prasangka di kepala. Kemudian anggota yang lain tiba-tiba mulai ribut di chat pribadi.
Apa karena tidak setuju atau tidak suka dengan si A? Apa karena hal B dan banyak prasangka lainnya? Hingga ada pula yang ingin mengundang kembali ke grup.
Padahal menurut saya, kadang orang mungkin hanya ingin keluar sejenak dalam keramaian untuk tenangkan dirinya.
Tetapi left group ini membuktikan bahwa yang bersangkutan menunjukkan eksistensi dirinya. Menunjukkan protes dan sikap tidak setuju atas diskusi atau kondisi di grup itu.
Kadang saya lihat situasi ini situasi yang kekanak-kanakan karena seseorang yang sudah left, kemudian dengan polosnya di-invite lagi admin. Dan akhirnya dia left lagi di-invite lagi.
Prasangka di zaman sosial media
Suatu kali, teman saya yang pernah mengalami kondisi ini bercerita.
“Mengikuti group whatsapp yang kemudian tidak membuat senang hanya membuat hati kusut buat apa?! Mending ketemuan di dunia nyata aja deh, jangan di dumay (dunia maya).”
Akhirnya fenomena left group ini menunjukkan orang tersebut lagi ngambek. Dan kadang ada kesan kekanakan. Terlebih jika kita tahu bahwa dia left di berbagai grup.
Kasak kusuk di grup, “Kenapa ya dia left?”
Lalu ada yang jawab, “Positif thingking, kepencet kali.”
“Masak kepencet di beberapa grup.”
Ada juga yang ketika ditanya jawabnya, “Itu anakku yang mainanan hape.”
Setelah kesalnya hilang dia bersedia di invite kembali. Saya sendiri sering left group, tiga kali atau empat kali. Alasannya karena tidak nyaman dan malas buka grup itu bikin hati deg-degan dan tidak enak.
Lalu hati jadi lega ketika sudah tidak gabung di grup itu. Meski akhirnya pasrah ketika di invite lagi dan penyambutan pun bersahutan dari banyak anggota.
Fenomena left group ini bagian dari sebuah konflik di dunia maya. Tetapi kita pun wajib menghargai orang yang left grup. Karena kadang kita diundang ke sebuah grup tanpa izin dan tahu-tahu sudah ada dalam grup itu.
Kalau dengan ikut grup dapat menambah iman, menambah silaturahmi dan menambah pengetahuan, meski ada orang yang tidak kita suka sebaiknya tetap saja dalam grup tersebut. Menjadi anggota pasif saja, mengurangi hati yang tiba-tiba ‘nyess’ karena ada yang left group.
“Hiduplah sesukamu maka sesungguhnya kamu akan mati. Cintailah sesuatu sesukamu maka sesungguhnya kamu akan berpisah. Berbuatlah sesukamu maka sesungguhnya kamu akan bertemu dengannya.” (HR. Hakim)
Website: