ANAKKU masuk kamar dengan bersungut-sungut. Setelah sarapan pagi di sebuah hotel yang kebetulan dia memang ikut acara tour Jogja dengan guru-guru.
Katanya, “Syifa tuh bingung Mii mau jawab apa. Program pendidikan Syifa ini kan aneh. Semua guru pada nanyain Syifa sekolah di mana, ambil jurusan apa? Mau di mana kuliahnya dan lain-lain dan lain-lain. Syifa musti jawab apa?”
Lalu ku jawab, “Kenapa sih? Santai saja lagi, kalau kita ke mana-mana semua juga pasti tanya-tanya ini itu, ya jawab saja sebisa dan setahu kamu dan bilang saja suruh tanya Umi gitu atau jawab saja disuruh Umi.”
Ketika itu aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Kadang memang begitu. Kalau ketemu dengan anak teman kita pasti kita tanya sekolahnya di mana.
Baca juga: Makanan dalam Perjalanan ke Turki
Yang paling nggak enak tuh yang masuk pesantren pasti ditanya, “Sudah berapa juz hafalannya?”
Dan ketika kedapatan sang anak pesantren ini main game melulu pasti muncul komentar, “Ini anak pesantren di sana dikukung kali yaa jadi ketika liburan malah main game melulu. Ya dari awal acara arisan keluarga sampai selesai. Khusyuk betul jempol dan mata menuju ke hape yang kayaknya sudah memanas.”
Lebih panik lagi bila ada yang ajak ngomong bahasa Arab. Kalau si anak bengong segera dicap, “Wah, kok masuk pesantren nggak bisa bahasa Arab.”
Soal pendidikan anak
Soal pendidikan anak gadisku, sebetulnya ingin aku menjelaskan kepada banyak orang. Tapi untuk apa? Bikin konferensi pers sekalian gitu?!
Gini lho jeng dan handai taulan, anakku kan sangat rajin yaa bukan agak rajin. Lalu dia dapat semacam jalur khusus (kayak PMDK) sehingga bisa masuk kuliah duluan di Western Uni. Agak susah menjelaskannya, tapi itu Universitas terbaik seluruh Australia dan dia sudah masuk kuliah tapi belum graduation.
Jadi kayak curi start gitu. Masuk kuliah lebih cepat dari teman seangkatan. Lalu, ketika ada graduation di SMU-nya, dia ikutan.
Kemudian, ketika mau ambil penjurusan di semester dua ini, aku setelah diskusi dengan suami dan anakku, dia aku masukin pesantren dulu (satu tahun). Belajar tahfidz lagi, belajar ulumul syar’i dan persiapan dakwah, di sebuah pesantren namanya ‘al Ilmy sebut saja begitu.
Jadi ya seperti itulah anakku agak bingung juga kalo ditanya sekolah atau kuliah di mana. Pertanyaan masalah sekolah ini membuat galau anakku karena memang ia tidak menempuh pendidikan yang biasa seperti umumnya. Diperlukan keberanian khusus dari orangtua maupun sang anak sendiri.
Persepsi sendiri tanpa klarifikasi
Bayangkan anak disuruh cuti kuliah di tahun awal masuk setelah diterima di Universitas terbaik di Australia hanya untuk belajar tahfidz dan memperdalam ilmu diniyah. Ini bukan langkah biasa dan sebagai orangtuanya aku juga sedikit deg-degan. Tetapi hal ini sudah dibicarakan dalam keluarga kami. Dan semoga ini adalah jalan yang terbaik karena agama menjadi prioritas dalam keluarga kami.
Menayakan hal yang umum memang tidak mengapa, tetapi ketika sudah terlalu ingin tahu, atau bahkan sampai menduga-duga inilah yang banyak terjadi di masyarakat. Hanya karena memilih jalur yang berbeda, atau hanya karena status yang ‘mengambang’ akhirnya melahirkan persepsi sendiri tanpa klarifikasi.
“Mi, kenapa semua orang kok tahu sih Ummi sakit kakinya? kata mereka ummi harus banyak istrahat dan bla bla bla… Mii, kok orang tahu kita mau pulang hari Selasa? Mi, kok pada tahu yaa rumah kita mau di jual.”
Rupanya anakku tidak siap kalau ibunya dah seperti public figure meski hanya dilingkup lokalan. Tetapi ini menjadi pelajaran bagiku dan semoga bagi yang lain juga, bahwa ternyata kadang ada hal yang membuat anak kita tidak nyaman meski orang lain juga tidak bermaksud untuk memberikan pandangan atau statement ‘aneh’.
“Katakanlah sesungguhnya shalatku, sembelihanku, kehidupanku dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-An’am: 162)
Website: