ISTILAH SCBD yang biasa dikenal sebagai kawasan bisnis di Jalan Sudirman kini memiliki arti berbeda, yakni Sudirman, Citayam, Bojong Gede, dan Depok.
Mengapa istilah itu muncul dan apa kaitannya dengan quo vadis pendidikan? Penulis buku Journey to the Light Uttiek Herlambang menuliskan berikut ini.
Sedang viral di sosial media sekelompok anak-anak tanggung yang menyebut diri SCBD. Apalagi setelah Gubernur Jakarta menyebut dalam salah satu unggahannya.
“Baru dengar juga istilah SCBD alias Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok, saat ditanya tanggapan oleh wartawan,” ucap Anies Baswedan dalam akun Instagram pribadinya, Jumat (8/7).
SCBD ini bukan singkatan Sudirman Central Business District, sebuah kawasan bisnis premium di Jakarta, melainkan Sudirman, Citayam, Bojong Gede dan Depok untuk menyebut anak-anak yang sering nongkrong dan membuat konten media sosial di sekitar Stasiun Sudirman.
Kebutuhan mereka untuk membuat konten terfasilitasi dengan adanya sarana publik gratis yang tersedia di kawasan tersebut.
Lebih lanjut, Anies mengatakan pihaknya berupaya membangun ruang ketiga sebagai fasilitas yang menyetarakan dan mempersatukan.
“Singkatnya: kami membangun ruang ketiga memang sebagai tempat yang menyetarakan dan mempersatukan. Ruang ketiga adalah ruang kita bersama di antara ruang pertama (rumah) dan ruang kedua (tempat kerja/belajar),” katanya.
Menariknya, salah satu anak yang dikenal sebagai Roy “Citayam” kembali viral di media sosial setelah ia menolak beasiswa dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno.
Alasan Roy menolak beasiswa tersebut adalah ingin fokus menjadi konten kreator.
Banyak komentar bermunculan mengiringi keputusan yang ramai diperbincangkan di media sosial itu.
Ada pakar yang berkomentar, Roy mewakili karakter Gen Z yang mulai meyakini gelar kesarjanaan tidak menjamin kompetensi seseorang.
Baca Juga: Anies Baswedan Perkenalkan Jakarta sebagai Kota Global
SCBD Sudirman Citayam Bojong Gede Depok
View this post on Instagram
Gelar akademis bukan segalanya. Bagi Gen Z yang di mana no gadget no life, menjadi konten kreator lebih menarik karena bisa menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhannya.
Prinsip ini sangat jauh dibanding umat terdahulu dalam mencari ilmu. Seperti yang terjadi di sepanjang rute kuno Jalur Sutera.
Para saudagar Muslim saat itu tak hanya berdagang, namun mereka juga para penuntut ilmu. Kalau pagi mereka berdagang di pasar, sorenya mereka duduk di kelas-kelas madrasah.
Pada masa itu melakukan perjalanan dagang tak pernah sebentar, bisa berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, hingga cukup waktu untuk sekaligus menimba ilmu.
Sekembali ke kampung halamannya, ilmu yang mereka dapat diajarkan pada masyarakatnya. Mereka juga membawa pulang kitab-kitab yang didapat dari madrasah.
MasyaAllah, sungguh peradaban yang luar biasa.
Ekonomi bergerak berkat perdagangan internasional yang mereka lakukan, sekaligus ilmu tersebar luas dengan cepat di negeri-negeri Muslim. Mereka tak lelah menuntut ilmu sekalipun usianya tak lagi muda.