SAHABAT, ternyata Artificial Intelligence dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi penyakit malaria. Wah, menarik ya? Bagaimana cara kerjanya? Yuk, kita simak.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperkenalkan teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi penyakit malaria bertepatan dengan Hari Malaria Dunia.
Dikutip dari akun @brin_talentarisetinovasi, (25/04/2023), malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyebar melalui gigitan nyamuk Anopheles terinfeksi.
Terdapat beberapa gejala malaria seperti demam, mual, muntah, sakit kepala, dan kelelahan.
Gejala yang terlalu umum, membuat kita harus melakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui secara pasti apakah memang terinfeksi Plasmodium atau tidak karena jika telat saja, terdapat kemungkinan komplikasi serius dan bahkan kematian.
Di Hari Malaria Dunia ini, BRIN berbagi informasi terkait terobosan baru dalam mendeteksi malaria.
Bukan secara manifestasi klinis atau mikroskopik, melainkan menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) bernama Computer Aided Diagnostic System.
Computer Aided Diagnostic System pada riset ini digadang-gadang memiliki kecepatan deteksi yang tinggi dengan akurasi yang baik.
Mau tahu lebih lanjut tentang pemanfaatan Artificial Intelligence untuk mendeteksi penyakit malaria?
BRIN Perkenalkan Artificial Intelligence untuk Mendeteksi Penyakit Malaria
Yuk simak bersama pada #researchpedia edisi “Pemanfaatan Artificial Intelligence untuk Mendeteksi Penyakit Malaria”.
Baca juga: 4 Provinsi Indonesia Bebas Malaria
View this post on Instagram
Pemanfaatan Artificial Intelligence untuk mendeteksi penyakit malaria
Malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang menyerang sel darah merah dan ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi.
Dalam waktu 10-15 hari setelah infeksi awal oleh gigitan nyamuk, gejala sakit kepala, demam, dan menggigil akan muncul.
Ini merupakan gejala umum yang sulit untuk diidentifikasi sebagai malaria, oleh karena itu, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.
Beberapa jenis pemeriksaan dan diagnosa malaria, antara lain melalui manifestasi klinis, mikroskopis, rapid diagnostic test, polymerase chain reaction, computer aided diagnostic system.
Pemanfaatan Ai pada deteksi malaria
Computer-aided diagnosis (CADx) adalah sistem berbentuk Artificial Intelligence (AI) yang digunakan untuk menginterpretasikan gambar medis
dan menganalisis kemungkinan terjadinya penyakit atau jenis kelainan apa pun. Analisa yang dihasilkan dari teknologi AI ini digunakan sebagai alat bantu untuk membuat diagnosis.
CADx System untuk deteksi malaria
CADx dalam mendeteksi penyakit malaria dikembangkan untuk mempercepat dan menjaga akurasi diagnosis.
Metode ini lebih efektif dibandingkan metode mikroskopis yang membutuhkan interaksi manusia terlatih, waktu yang lebih lama, serta kerentanan terhadap kesalahan.
Cara kerja Artificial Intelligence pada sistem CADx adalah dengan menganalisa blood smears microphotograph secara otomatis memanfaatkan fitur ekstraksi Morpho-geometrical sebagai diagnosis malaria.
Kok bisa otomatis, bagaimana caranya?
Periset BRIN, Anto Satriyo Nugroho berkolaborasi dengan beberapa periset BRIN lainnya dari PR Biologi Molekuler Eijkman, serta periset dari Swiss German University,
melakukan penerjemahan dalam bahasa algoritma pada pengetahuan mikroskopis terhadap identifikasi spesies dan tahapan diferensiasi kehidupan plasmodium untuk identifikasi malaria dengan bantuan geometri komputasi.
Riset ini menjadi gebrakan baru yang dapat memudahkan para petugas medis dalam mendiagnosa apusan darah untuk deteksi malaria serta mengklasifikasi jenis Plasmodium dan tahapan diferensiasi kehidupannya secara otomatis.
Bagaimana hasilnya? Riset ini juga menjadi sebuah metode baru dalam pemeriksaan dan diagnosa pada penyakit malaria.
Didesain serta dialgoritmakan berdasarkan pengetahuan mikroskopis pada analisa blood smears, sistem CADx ini mampu mendeteksi jenis dan tahapan hidup Plasmodium 23 kali lebih cepat (41,45 detik).
Skor pada Positive Predictive Value adalah 77,14% , sensitivity score sebesar 84,37% dan skor pada models’ accuracy (F1) sebesar 80,60%.
Keren ya jika teknologi memudahkan manusia dalam mendeteksi penyakit malaria ini. Semoga terus dapat dikembangkan.[ind]