PESAN atau nasihat biasanya tersembunyi di balik mitos. Ada pesan yang positif, ada juga yang negatif.
Masyarakat kita bisa dibilang kaya dengan mitos. Menariknya, mitos kadang lebih memasyarakat daripada pesan hikmah yang disampaikan ulama atau tokoh pendidikan.
Mitos itu disampaikan secara turun-temurun. Dari para orang tua kepada anak-anaknya. Karena itu dianggapnya sebagai nasihat atau petuah dari orang tua, maka anak-anak memegangnya dengan begitu yakin.
Pesan Positif dan Negatif
Di setiap kata-kata mitos biasanya tersimpan pesan. Ada pesan yang nilainya bisa positif, ada juga yang negatif.
Pesan positif atau negatif umumnya diukur oleh para pendidik dari sisi dampak atau pemahaman yang melatarbelakangi pesan itu.
Misalnya, “Jangan duduk di atas bantal, maka pantatmu akan bisulan.”
Mitos ini begitu efektif untuk mencegah anak-anak menduduki bantal yang dipakai untuk tidur. Hal ini karena bantal memang untuk kepala, dan kepala adalah hal yang mulia dalam tubuh manusia.
Karena mitos ini, maka anak-anak begitu menghindari duduk di atas bantal. Mereka takut kalau pantatnya bisa bisulan.
Dan pesan ini begitu efektif daripada menyampaikan pesan apa adanya. Misalnya, “Nak, jangan duduki bantal ya. Nanti bantalnya kotor.”
Apa yang dibayangkan anak-anak kalau menduduki bantal? Ya, paling-paling bantalnya kotor. Kan bisa dicuci. Tapi kalau bisulan, waduh, sakitnya bukan main.
Contoh mitos lain, “Kalau nyapu harus bersih, kalau tidak, nanti kamu akan berjodoh dengan pria brewokan.”
Anak-anak, khususnya para gadis, akan sangat memperhatikan mitos ini. Karena umumnya anak gadis ingin berjodoh dengan pria yang tampan dan rapi.
Istilah brewokan bukan menunjukkan janggut yang lebat. Tapi lebih kepada sosok pria yang malas merapikan kumis dan brewoknya. Sehingga wajahnya hampir tertutup oleh rambut-rambut wajah.
Karena konsekuensinya begitu tidak mengenakkan, maka para gadis akan berhati-hati sekali menyampu lantai atau halaman. Mereka akan berusaha untuk menyapu dengan bersih dan tidak asal-asalan.
Contoh mitos lain, “Jangan keluar rumah pada waktu Magrib, nanti diculik setan Wewe.”
Di zaman saat mitos ini ‘dipublikasi’ mungkin suasana tempat tinggal umumnya masyarakat masih sangat sepi, gelap, dan belum ada listrik.
Sehingga keadaan itu bisa membahayakan anak-anak. Mungkin mereka bisa terjeblos ke lubang, terinjak ular atau kalajengking, tersasar menuju tujuan, atau lainnya.
Sehingga sebaiknya, anak-anak tetap berada di rumah di saat waktu Magrib. Dan cara ini sangat efektif untuk menjadikan anak-anak patuh.
Pesan ini juga sejalan dengan yang pernah disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa saat waktu Magrib di mana langit berwarna jingga merupakan waktu di mana setan-setan keluar.
Tapi, pesannya tidak berhenti di situ. Karena itu, harus segera menunaikan shalat Magrib. Karena waktu Magrib sangat sebentar. Kemudian, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur’an.
Jika anak-anak dilarang keluar rumah saat waktu Magrib, terutama anak laki-laki, maka mereka akan takut ke masjid untuk shalat berjamaah.
Jadi, pesannya harus disempurnakan: tidak boleh keluar rumah saat Magrib, kecuali untuk shalat ke masjid dan mengaji. [Mh]