AISHA Rosalie wanita asal Inggris yang menemukan kedamaian dalam Islam setelah ia ditimpa kehidupan yang sangat berat. Pada mulanya, setelah mengalami kekacauan hidup yang bertubi-tubi ia tidak berpikir bahwa dirinya akan memeluk Islam, ia hanya tertarik mempelajari Islam setelah perjalanannya ke Turki.
Aisha lahir dalam keluarga yang sangat kekurangan dan dibesarkan di sebuah perumahan yang sangat buruk di Inggris. Ayahnya hanya seorang pengembara.
Keyakinannya dan keluarganya pada agama tidaklah besar, Aisha bahkan tidak merasa memiliki agama.
Di masa-masa sulit Aisha hanya percaya pada kekuatan yang lebih tinggi, “Jika aku dalam skenario yang sulit aku akan (mengatakan), ‘Tuhan bisakah tolong bantu aku?’ Aku mungkin tak akan menggunakan kata Tuhan, aku percaya pada kekuatan yang lebih tinggi.”
Baca Juga: Muallaf Jay Palfrey, Travel Blogger yang Ingin Mengubah Persepsi Negatif Dunia Tentang Muslim
Kisah Muallaf Aisha Rosalie Menemukan Kedamaian pada Islam di Bulan Ramadan
Hidup dalam keluarga yang kacau membuat Aisha terus berusaha mencari kedamaian dan kebahagia. Ia pernah membenci alkohol, karena saudara laki-lakinya meninggal karena pengaruh alkohol.
Dan ayah Aisha yang hampir setiap saat berpindah dari satu pub (bar) ke pub lain meninggalkannya dan ibunya karena bertemu dengan seorang wanita berusia 15 tahun. Setelah itu ia tidak pernah bertemu lagi dengan ayahnya.
Kebencian Aisha pada alkohol ini terus berlangsung. Namun suatu hari, saat ia menginjak usia dewasa ia mulai menghadiri pesta dan mengonsumsi alkohol. Hingga seseorang hampir menculiknya saat ia berada di bawah pengaruh alkohol.
Ia merasa bingung dan heran dengan apa yang dilakukannya, “Mengapa aku melakukan ini pada diriku sendiri? Aku selalu menentang alkohol. Mengapa aku mulai memasukkan (alkohol) ini dihidupku?” batinya.
Setelah ia tersadar, ia masih tidak berhenti melakukannya sampai suatu hari ia melakukan perjalanan ke Turki dan mulai mengenal Islam.
Di tanah Turki, Aisha banyak menyaksikan dan mengamati orang-orang berkomat-kamit menggunakan manik-manik (berzikir).
Ia menyangka bahwa itu adalah cara mereka menghilangkan stess, hingga ia pun mencobanya dengan mencari tahu bacaan apa yang diucapkan mereka.
Saat berada di antara Blue Mosque dan Hagia Sophia, ia juga mendengarkan lantunan azan dengan lebih khitmat, “Wow, itu sangat indah, begitu damai” ucapnya.
Dalam perjalanan pulang dari Blue Mosque ke asrama tempat tinggal Aisha mengalami kesulitan. Ia tidak tahu arah jalan yang harus ia tempuh.
Ia kemudian berdoa, “Tuhan, jika Engkau nyata, bantu aku kembali ke asrama.” Setelah itu ia hanya berjalan menuju asrama tempat ia tinggal dan tidak menemukan kesuliatan apapun. Ia tiba di asrama tanpa bantu orang siapapun.
Selama di Turki itulah ia tertarik membaca Al-Quran hingga saat ia kembali ke UK ia tetap membaca Al-Quran meskipun belum ada niat untuk menjadi muslim.
Seminggu setelah Aisha kembali ke tanah kelahirannya, terjadi lockdown akibat pandemi covid-19. Sebagai artis ia tidak banyak mendapat panggilan untuk shooting sehingga waktu lockdown banyak ia habiskan untuk mempelajari Islam.
“Aku membaca, aku belajar, aku menonton ceramah, aku melakukan semuanya di rumah. Aku tak mengenal Muslim lain, aku sendirian disepanjang perjalananku”
Selama mempelajari Islam itu, ia masih belum berniat memeluk Islam hingga saat ia mencoba melakukan shalat fajr atau subuh sebagai upaya pengendalian diri.
Ia merasakan pengaruh yang luar biasa dari shalat subuh. Tak berhenti sampai di sana, ia mencoba melakukan puasa Ramadan, lagi-lagi sebagai upaya pengendalian diri.
“Aku mulai melakukan (puasa) Ramadan dan saat itulah keyakinan itu mulai datang kepadaku. Aku berhenti memikirkan dunia dan mulai memikirkan tentang Allah.”
Dari sanalah Aisha mulai sadar bahwa kebahagiaan dan ketenangan yang dicarinya selama ini ada pada Islam. Ia mulai bersyahadat di bulan Ramadan. [Ln]