ChanelMuslim.com- Pemerintah gencar melakukan vaksinasi. Sayangnya, masih ada kendala besar di program strategis itu. Yaitu, ketersediaan vaksin yang belum merata di daerah. Lalu, tepatkah sertifikat vaksin menjadi syarat menggunakan fasilitas publik?
Di tengah gencarnya upaya pemerintah melakukan vaksinasi, ada pertanyaan publik menyusul kebijakan sertifikat vaksin menjadi syarat akses ke fasilitas publik. Fasilitas publik itu mulai dari transportasi umum, menumpang pesawat, hingga masuk mal. Kenapa kebijakan itu bisa muncul?
Pasalnya, vaksinasi yang dilakukan pemerintah baru mencapai sekitar 12 persen dari penduduk. Hal ini bukan karena rakyat tidak ingin divaksin. Tapi, lebih karena ketersediaan vaksin yang belum merata di daerah.
Selama ini, vaksinasi masih terkesan gencar hanya di DKI Jakarta. Ketersediaannya sangat memadai. Dan hampir semua institusi di pemeritahan pusat dan DKI melakukan hal yang sama.
Tapi, bagaimana dengan daerah lain. Jangankan untuk luar pulau Jawa, di Bodetabek saja, ketersediaan vaksin masih belum memadai. Tidak heran jika masyarakat berjubel di satu titik acara vaksinasi.
“Saktinya” sertifikat vaksin yang belum diiringi ketersediaan yang memadai, tentu akan memicu kerumunan di sejumlah titik di daerah. Lagi-lagi, hal itu akan berpotensi memunculkan penularan massal.
Selain itu, sejumlah pakar menilai bahwa sertifikat vaksin tidak relevan dijadikan prasyarat menggunakan fasilitas publik. Karena vaksin tidak menjadi jaminan orang akan benar-benar bebas sebagai sumber atau korban penularan covid.
Salah satunya yang pernah disampaikan epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman kepada media. Menurutnya, sertifikat vaksin tidak relevan menjadi prasyarat menggunakan fasilitas publik.
Hal ini karena vaksin yang ada saat ini efektif untuk varian lama. Sementara untuk varian baru seperti Delta belum memadai.
Yang penting menurutnya, program karantina wilayah dan tiga T, yaitu testing, tracing, dan treatment. Dan di Australia, program sertifikat vaksin tidak diperlakukan seperti di DKI Jakarta. Sekali lagi, karena hal itu tidak relevan.
Selain itu, ada kesan di masyarakat awam bahwa dengan memegang sertifikat vaksin berarti sudah seratus persen kebal penularan. Hal ini akan mengubah pola kebiasaan baru tentang tiga M. Masyarakat merasa tidak perlu lagi ketat memakai masker terutama di tempat umum.
Kalau pun ingin menjadikan sertifikat vaksin sebagai stimulus untuk percepatan vaksinasi, rewardnya bukan berbentuk prasyarat seperti itu. Mungkin dalam bentuk lain seperti diskon belanja, beasiswa, dan lainnya.
Vaksinasi boleh jadi diperlukan untuk membentuk kekebalan kelompok. Tapi, kebijakan turunannya tidak boleh menimbulkan masalah baru. Terutama tentang keadilan sosial di masyarakat.
Jangan sampai ada kesan, hanya masyarakat di kota-kota besar saja yang bisa menikmati fasilitas publik. Sementara mereka yang berasal dari daerah hanya gigit jari. [Mh]