ChanelMuslim.com- Istilah rapid tes begitu akrab di telinga masyarakat. Meskipun, sebagian besar mereka belum paham. Apa sih rapid tes itu, gunanya buat apa, bagaimana biayanya, dan lain-lain. Seperti inilah yang kira-kira ditangkap orang kebanyakan.
Percakapan Satu
Di sebuah pasar tradisional, petugas kesehatan meminta pedagang ikutan rapid tes. Seorang ibu mengatakan, “Maaf, Mbak. Saya rasa, saya nggak perlu ikutan rapid tes.”
“Oh, ibu sudah pernah rapid tes ya di tempat lain?” ucap petugas kesehatan wanita begitu sopan.
“Belum,” jawab sang ibu singkat.
“Lho, kenapa ibu bilang nggak perlu ikutan. Ini wajib, lho, Bu. Semua pedagang di sini harus di-rapid tes,” jelas sang petugas.
“Buat apa? Lha, saya sudah tahu hasilnya,” ucap sang ibu kian membuat sang petugas terheran-heran.
“Gimana ibu bisa tahu, kan ibu bilang belum pernah ikutan rapid tes,” sergah sang petugas.
“Lha, anak saya kan sudah ikutan kemarin di tempat ujian kuliahnya. Hasilnya negatif,” ungkap sang ibu.
“Ibu, itu kan tes anak ibu, bukan ibu,” tanya sang petugas.
“Ya apa bedanya. Saya dan anak saya kan selalu tinggal serumah. Tidur bareng, makan bareng, ngobrol bareng. Hampir tiap hari begitu. Kalau dia negatif, pasti ibu juga. Masak dia negatif, ibunya bisa positif,” ungkap sang ibu begitu semangat.
**
Percakapan Dua
Di sebuah stasiun kereta jarak jauh, seorang petugas memeriksa kelengkapan dokumen calon penumpang. Seorang bapak paruh baya memberikan jawabannya ketika sang petugas menanyakan hasil rapid tes yang belum ada.
“Pak, saya naik kereta mau pulang kampung. Kenapa malah ditanyakan tentang rapid tes?” ucap sang bapak, agak protes.
“Maaf, Pak. Ini sudah syarat bagi siapa pun yang akan naik kereta. Supaya tidak terjadi penularan wabah di dalam kereta. Kalau belum, silakan bapak tes dulu di klinik sebelah sana. Biayanya sekitar 150 ribuan,” jelas sang petugas.
“Lha, yang perlu tahu saya positif apa negatif kan situ. Bukan saya. Kenapa mesti saya yang disuruh bayar,” ungkapnya enteng.
“Pak, ini syarat kalau bapak mau naik kereta. Kalau bapak tidak bisa naik kereta, kan bapak tidak bisa pulang kampung,” ucap sang petugas.
“Siapa bilang? Kalau saya nggak boleh naik kereta, ya wes. Saya naik bis aja. Kan naik bis nggak pake rapid-rapidan. Ongkos keretanya aja sudah mahal, disuruh bayar rapid,” ungkap sang bapak sambil membawa kopernya keluar stasiun.
**
Percakapan Tiga
Di sebuah acara rapid tes massal, seorang ibu sedang dijelaskan oleh petugas kesehatan tentang hasil rapid tes. Sang ibu tampak begitu menyimak apa yang disampaikan petugas.
“Ibu, hasil rapid tesnya sudah ada. Hasilnya, ibu reaktif,” jelas sang petugas.
“Saya nggak ngerti, Mbak. Saya kan dites corona, bukan tes kejiwaan,” ucap sang ibu agak heran.
“Ibu, maksudnya bukan ibu reaktif seperti istilah psikologi. Tapi, ini menunjukkan bahwa ibu suspect corona,” jelas sang petugas.
“Suspect itu apa, Mbak?” tanya sang ibu lebih bingung.
“Artinya, ibu kemungkinan tertular corona. Jadi, ibu harus mengikuti swab tes,” jelas petugas.
“Lha kok gitu. Kan saya sudah ikut rapid tes, kenapa mesti ikut tes lagi?” ucap sang ibu agak protes.
“Begini ibu, rapid tes itu hanya untuk melihat kemungkinannya saja. Untuk kepastiannya ibu harus mengikuti tes berikutnya,” ucap sang petugas.
“Lha buat apa saya dites pake yang kemungkinan. Yang namanya hasil tes itu, ya hasil. Bukan kemungkinan. Bikin repot aja!” sergah sang ibu sambil ngeloyor meninggalkan petugas.
**
Percakapan Empat
Di sebuah acara rapid tes massal, seorang petugas sedang menjelaskan kenapa seorang bapak harus isolasi mandiri. Tapi, sang bapak begitu keberatan karena ia merasa sehat-sehat saja.
“Pak, dari hasil tes ini, bapak kemungkinan tertular wabah. Karena itu, bapak harus isolasi mandiri. Selama dua pekan, bapak di kamar saja. Minum obat, vitamin, dan jangan interaksi dengan orang lain,” jelas sang petugas.
“Waduh, saya kok ngerasa sehat-sehat aja. Nggak panas, nggak pusing, nggak lemes, nggak buang-buang air. Saya sehat wal afiat. Apa tesnya nggak salah?” ungkap sang bapak.
“Pak, bapak kemungkinan OTG,” ucap sang petugas.
“Ya saya memang sudah lama OTG, Mbak,” sergah sang bapak membuat petugas agak bingung.
‘Maksud Bapak?” tanyanya kemudian.
“Ya, sudah lama saya ini Orang Tanpa Gawean alias OTG. Anak-anak saya yang kerja. Saya sudah pensiun,” jelasnya.
“Pak, OTG itu Orang Tanpa Gejala. Dia sudah terinfeksi wabah, tapi tidak ada gejala kalau dia sakit,” ucap sang petugas.
“Lha, apa yang salah dari OTG? Kan yang penting sehat atau nggak. Kalau sehat-sehat aja, kenapa harus dipikirin,” ungkap sang bapak.
“OTG itu memang seperti orang sehat, tapi padahal dia sakit. Bapak bisa menularkan wabah ke istri, anak, tetangga, dan orang lain,” jelas petugas.
“Pak petugas ini gimana. Ya kalau saya OTG, yang akan saya tularin ya pasti OTG juga: nggak demam, nggak pusing, nggak buang-buang air, nggak lemes. Sehat!” sergah sang bapak sambil beranjak meninggalkan petugas.
**
(Mh)